Sebuah Hikmah Dibalik Keresahan-Keresahan Saya Berpindah dari Kota ke Desa Akibat Pandemi Covid-19


            Jadi ceritanya, selama lebih dari empat bulan ini, saya yang biasanya bekerja di kantor kecil di Surabaya terpaksa harus pulang ke sebuah desa asri di Jawa Tengah (demi privasi nama desanya ndak usah ditulis ya Lur) karena pandemic You-know-who a.k.a Covid 19. Status saya ...hmmm..bisa dibilang dirumahkan dan mau tidak mau saya harus berganti haluan gaya hidup ngemall saya ke kegiatan lain yang sesuai dengan budaya pedesaan.



            Sebenarnya, saya ini setengah orang desa juga setengah orang kota. Main di kali bisa, makan di restoran ala carte juga nggak malu-maluin kok. Namun karena saking lamanya saya terbiasa hidup di kota, desa menjadi seperti tempat asing yang tidak bisa saya tinggal lebih dari satu bulan. Di bulan pertama semuanya terasa indah, sejauh mata memandang yang ada hanyalah hamparan biru warna langit dan hijau warna dedaunan pepohonan.Oksigen begitu melimpah dan corona seperti sebuah kata yang terlalu asing di sebuah tempat seasri ini. Saya merasa berada di tempat aman karena sepertinya kok ndak mungkin yang namanya corona bisa datang ke tempat seindah surga ini.

            Bulan kedua, jiwa kekotaaan saya mulai gelisah. Saya mulai terbiasa menghabiskan waktu membuka gawai saya dan bahkan bisa begitu lama scrolling video k-pop di you tube. Segala yang asri mulai terasa biasa dan entah kenapa saya kok rindu dengan keramaian kota.

            Bulan ketiga, keresahan mulai sedikit menjadi-jadi. Langit biru terasa biasa aja dan cuitan tetangga membuat telinga saya menjadi ..kok gatel-gatel ya. Sebagai wanita pemuja cinta suci, saya termasuk yang butuh waktu lama buat memutuskan untuk menikah. Kini lirikan tetangga semakin tajam ke arah saya, seolah menuntut supaya ada tratak didirikan di rumah wanita berusai 30-ish yang masih betah hidup sendiri tanpa ada life partner. Fun fact! Semua wanita seusia saya di desa memang sudah punya anak remaja. Kenapa? Jawabannya nanti saya tulis di sesi curhat atau esai lain.

            Bulan keempat menjadi bulan di mana saya mulai meragukan eksistensi saya sebagai seorang lulusan universitas yang sudah bekerja selama lebih dari satu dekade di kota besar. Saya selalu merasa bahwa ilmu saya tidak bisa dipakai di desa karena tidak ada orang di desa yang menbutuhkan penjelasan panjang apa itu tingkatan kalimat majemuk setara, atau majemuk bertingkat. Oh ...mereka juga  tidak membutuhkan apakah teks naratif itu dibutuhkan dalam test bahasa inggris tingkat internasional seperti ielts atau toefl?

            Untuk mengisi kegiatan hidup sehari-hari sambil menunggu asa covid 19 akan bisa hilang atau kalau memang tidak bisa ya setidaknya bisa dikendalikan maka saya mencoba mencari kesibukan. Yang paling mudah dan tak memerlukan banyak usaha adalah berkebun. Saya membeli benih sayuran lewat aplikasi belanja daring dan kemudian mempersiapkan cukup banyak polibag di depan rumah. Kebetulan bapak saya punya kandang sapi dengan produksi kotoran melimpah jadi saya gunakan tanah yang katanya subur di sekitaran kandang untuk dijadikan media bercocok tanam. Singkat cerita, boom! Tiga bulan saya bisa panen sawi. Dan boom kedua, ooh..kubis saya juga ikut besar. Hmm...ternyata menyenangkan jadi petani kebun sayur. Dengan keuletan menyirami sayuran setiap hari dan merawatnya dari gangguan hama dari video panduan di You Tube saya mulai bisa menghargai pangan yang katanya dibutuhkan dalam situasi krisis seperti sekarang ini.

            Orang tua saya adalah petani namun (ya itu) karena saya keseringan hidup di kota, jadinya kehidupan bertani tidak begitu familier bagi saya.




            Melihat halaman rumah saya mulai ditumbuhi yang hijau-hijau, para tetangga mulai melirik dan tertarik dengan apa yang ‘anak kota’ ini lakukan. Mereka bertanya pada saya apakah masih ada bibit gratis. Maka saya jawab, “monggo bu kalau mau nandur masih ada di belakang.” Sekedar info, ternyata orang-orang di desa saya tak terbiasa berkebun meski punya tanah. Penyebab terbesarnya adalah karena mereka petani padi, kacang tanah dan jagung. Katanya mengurusi sayur harus telaten, beda dengan tanaman-tanaman palawija.

            Idealnya, cerita seperti ini akan berkembang menjadi sebuah cerita inspiratif seperti  si anak kota merubah kampungnya menjadi sebuah kampung dengan ketahanan pangan tinggi dengan menggerakkan kampung kebun. Itu idealnya! Nyatanya, perubahan seperti itu tidak bisa dilakukan dalam waktu sekejap terlebih kalau kita bukan siapa-siapa.

            Oleh karena itu, di masa keresahan dan kegelisahaan saya mencari eksistensi menjadi manusia karena covid 19, saya harus bersabar menunggu sebuah kebun surga muncul di halaman saya baru setelahnya akan ada banyak mata yang melihat dan kemudian tertarik. Entah di desa atau di mana pun, orang lebih suka melihat hasil.

Impiannya, beberapa tahun kemudian semoga ketahanan pangan bisa terwujud di halaman setiap keluarga kampung desa saya, atau Indonesia pada umumnya. Jika nanti ada wabah besar yang muncul lagi dan membuat kita hidup dalam situasi krisis, maka kita tidak perlu menunggu bantuan pemerintah yang datangnya ...duh...sampai beberapa purnama.

Wah mulia sekali cita-cita saya ya Lur!

Comments

Post a Comment

Popular Posts