Kartini "Nyentrik"
(Sebuah Review Film)
Membuat film biopik itu bukan pekerjaan
gampang. Komen itulah yang bisa saya utarakan kepada film "Kartini" besutan
sutradara Hanung Bramantyo. Seberapa pun reseach yang dilakukan jika
persiapannya hanya dalam hitungan bulan hasilnya pasti tak akan bisa terlalu
akurat. Apalagi Kartini adalah orang yang hidup satu abad lalu di mana ketika
dia masih hidup tidak ada pengarang resmi yang menjadi penulis resmi
biografinya. Lalu, pertanyaan yang muncul adalah...Apakah “Kartini” film yang
tidak bagus? Dengan lantang saya akan jawab TIDAK.
Filmbioskopindo.com |
Saya tidak akan memberikan
komentar mengenai cinematografi karena selama saya menyaksikan film ini dalam
durasi lebih dari dua jam, saya tidak menemukan hal aneh yang mengganggu visual
saya. Rumah kadipaten tampak luas dengan banyak wedana (pembantu) yang
berseliweran dan setting alam (laut, dan hutan –di kelilingi banyak pohon jati)
cukup merepresentasikan Jepara/Japara waktu itu. Meski , semua proses syuting
dilakukan di Yogyakarta bukan di tempat aslinya, Jepara. Penyebab yang paling
mungkin pastinya di Jepara tidak ada bangunan dan setting alam yang bisa
merepresentasikan tahun akhir 1800-an. Maka Yogya – si kota pemegang tradisi
Jawa- menjadi pilihan yang paling mungkin.
Cerita "Kartini" diawali dari
tangisan keras Kartini kecil yang dilarang untuk tidur bersama ibunya (Ngasirah)
di rumah kabupaten belakang karena dia memiliki derajat sebagai Raden Ajeng
(panggilan bangsawan untuk anak Bupati) tetapi melawan. Dia tidak mau memanggil ibunya dengan sebutan
Yu (panggilan untuk wedana di kadipaten)
dengan alasan bahwa Ngasirah adalah ibunya sendiri. Melihat kondisi
ini, Pak Bupati meminta Ngasirah untuk
menasehati Kartini supaya mau tidur di rumah depan (bangunan untuk keluarga
bupati). Dengan nasehat yang dipenuhi oleh air mata dari ibunya, akhirnya
Kartini bisa menahan emosinya.
Scene berlanjut dengan tradisi
pingitan yang membuat Kartini harus berada di dalam kamar setelah mengalami
menstruasi pertama. Pingitan ini dilakukan sampai ada lelaki yang melamar dan
memperistri anak perempuan. Merasa tidak berdaya, Kartini hanya melamun saja di
dalam kamar meratapi nasib hingga kang masnya Kartono memberinya sebuah kunci almari
yang berisi berbagai macam buku.
Buku-buku inilah yang membuat
Kartini merasa bebas meski raganya terkurung. Dia juga mengajak kedua adiknya –Reokmini
dan Kardinah- untuk melakukan hal yang sama- membaca buku- ketika mereka juga
ikut dipingit dalam kamar yang sama. Kamar bagi Kartini adalah ruang yang
memberikan kebebasan karena di dalam ruang sempit itulah dia bisa menjadi diri
sendiri.
Kecintaan Kartini terhadap buku
membuatnya banyak menulis, apalagi kang masnya, Kartono, yang diceritakan
sekolah di Belanda juga menyemangatinya. Dia mulai menulis berbagai macam buah
pikirannya tentang masyarakat Jawa waktu itu dan sebagai hasilnya
artikel-artikel yang dia tulis mendapat apresiasi dari media di Belanda waktu
itu. Kartini dan adik-adiknya juga sempat membantu masyarakat Jepara untuk
menghidupkan seni ukir kayu dan juga batik dan mempopulerkannya di Belanda.
Kesuksesan Kartini tak lantas
membuat semua orang bahagia dan mendukung cita-citanya. Dia justru harus
bertarung melawan tradisi ketat Jawa yang tidak mentolerir wanita untuk pintar. Penolakan keras ini digambarkan dari kemarahan ibu tirinya
(Raden Ayu Moeryam) dan para bupati (semuanya masih memiliki hubunagn darah dengan ayahnya)
yang mengangap apa yang dilakukan Kartini ini “lancang.”
Satu potongan kisah menarik mengenai pandangan Kartini mengenai Islam juga diselipkan, di mana Kartini mengikuti pengajian tafsir Al-quran (Surat Al-Fatihah) yang dipimpin oleh Kyai Sholeh Darat untuk kali pertama.Dia begitu kagum dengan arti Al-fatihah dan meminta pendapat Kyai Sholeh untuk menterjemahkan Al-Quran jika memang artinya sebagus itu. (Di sini saya merasa bahwa Islam pun yang menjadi agama mayoritas orang Hindia Belanda waktu itu tidak memiliki arti yang penting selain teks Arab yang hanya boleh untuk dibaca tanpa dipahami.)
Hanung seperti ingin membuat film biopik Kartini yang agak berbeda dari film terdahulunya tahun 1970-an yang mencoba merangkum keseluruhan hidup Kartini dari kecil hingga meninggal dunia. Secara
keseluruhan cerita versi 2017 ini lebih berfokus kepada hidup remaja dan awal dewasa Kartini yang
dinamis dengan kesenangannya membaca dan menulis. Kalau kita sebelumnya sering
berpikir bahwa Kartini adalah wanita Jawa yang lemah lembut, dalam film ini
jangan berharap hal itu bisa disaksikan. Bisa dibilang, Kartini digambarkan
sebagai gadis yang cukup ‘nyentrik’ dengan perilaku melawan tradisi. Dia tidak
terlalu nyaman dengan berjalan sambil duduk, dia tidak terlalu suka dengan unggah-ungguh
antara hubungan saudara dan masih banyak lagi.
Para pemain yang ikut dalam
proyek film Kartini ini pastinya membuat decak kagum para penonton. Ada Dian
Sastro yang berperan sebagai Kartini, Reza Rahardian sebagai Kartono, Acha
Septriasa sebagai Roekmini, Ayushita (Kardinah), Christine Hakim (Ngasirah),
Dedi Sutomo (Ayah Kartini), Mahesa Ayu Djenar (R.A Maryeom/ibu tiri Kartini),
Dedi Sumargo (Slamet/kakak Kartini) dan masih banyak lagi. Akting mereka tentu
sangat bagus apalagi Christine Hakim yang sukses membuat banyak lelehan air
mata keluar dari mata penonton.
taken from Bintang.com |
Dian Sastro cukup berhasil
membawakan sosok Kartini yang ‘Nyentrik” dengan jiwa pemberontaknya tetapi pada
saat yang bersamaan juga harus santun jika berhadapan dengan orang tua. Dia
juga menunjukkan kemampuan kefasihan bahasa Belanda. (Dalam buku “Panggil Aku
Kartini Saja.”- karya Pramoedya Ananta Toer- Kartini memang diceritakan fasih bahasa
belanda secara lisan dan tulisan. Hanya saja, pemilihan Dian Sastro menurut
saya terlalu komersil. Kartini memiliki usia yang tidak panjang (meninggal di
usia 25 tahun-setahun setelah menikah) sedang dalam film semua adegan diambil
ketika Kartini hidup dalam pingitan. Itu berarti usia Kartini masih sangat
muda. Dian Sastro sebagai sosok Kartini terlihat sudah sangat matang dengan
berbagai macam pemikirannya tentang hidup, padahal jika kita bisa disajikan
dengan sosok yang lebih muda orang akan lebih terkagum. Ternyata di usia semuda
itu Kartini sudah memiliki pemikiran yang luas.
Para aktor lainnya juga bekerja
dengan sangat baik. Acha dan Ayushita berhasil menyajikan sosok adik-adik
Kartini yang meneladani kakaknya dan harus merasakan sakit hati karena dipaksa
menikah dengan laki-laki yang tidak mereka ketahui. Dedi Sutomo sebagai seorang
ayah juga terlihat sangat bijaksana dengan mimpi-mimpi putrinya meski pada saat
yang bersamaa, dia kalah dengan tradisi Jawa feodal.
Para aktor pendukung membuat film
ini memberikan kontribusi tak kalah pentingnya sebagai faktor keorisinalan film
biopik ini. Saya terkagum dengan bapak yang berperan sebagai Pak Atmo (seorang
wedana kadipaten) yang sangat natural sekali berakting. Begitu juga dengan para nenek yang (entah
bagaimana Hanung mengarahkan) tampak terlihat sangat papa dan hormat dengan
para bangsawan.
Bahasa Jawa cukup mendominasi percakapan dalam film ini. Untuk yang tidak mengerti bahasa
Jawa, tenang saja, ada subtitle yang selalu muncul setiap percakapan dalam
bahasa daerah ini muncul. Selain Jawa, bahasa Belanda juga sering digunakan dalam percakapan.
Tentang kekurangan film ini, ehmm...kalau
saya bilang tidak ada itu tidak mungkin. Satu hal yang saya soroti adalah
kondisi rakyat yang tidak tergambarkan dengan baik di masa penjajahan.
Orang-orang Belanda yang diikutsertakan dalam film adalah orang-orang yang
berhubungan dengan kehidupan Kartini. Kita tidak mendapati bagaimana kondisi
rakyat yang hidup serba dalam kekurangan dan ketidakadilan akibat kolonial
Belanda dan keegoisan kaum feodal Jawa yang sebenarnya adalah sebab keresahan
Kartini yang mendasari dia berpikir dan menulis. Kartini bukan hanya pejuang
kaum wanita tetapi juga pejuang rakyat. Dalam buku Pramoedya dia digambarkan
sebagai seorang gadis yang resah mengamati kondisi lingkungannya, tetapi tidak
bisa berbuat banyak untuk membantu mereka. Yang dia bisa lakukan hanyalah
menulis karena lewat pena inilah setidaknya dia bisa mengabarkan pada dunia
keadaan bangsanya.
Sekali lagi, membuat film Biopik
itu tidak mudah dan dengan hasil yang saya bisa lihat di bioskop, saya tidak
ada memberi banyak keluhan kepada Hanung Bramantyo dan semua pemain yang
terlibat dalam film ini. Satu hal yang pasti, film Kartini mampu memberikan
sedikit gambaran tentang bagaimana para wanita (dari bangsawan) waktu itu terpasung
dalam tradisi. Jika para bangsawan saja tidak memiliki kemampuan untuk memilih siapa yang harus dinikahi,
apalagi rakyat biasa. (Ada kalimat dari
budhe saya yang menikah pada tahun 1980 an yang mengingatkan saya akan hal ini.
Kira-kira bunyinya seperti ini. “Wong wedok itu ibarate nunggu sarah keli ndok
kali. Opo wae sing dientuk yo diterima/ Wanita itu itu diibaratkan sedang
menunggu sampah banjir di sungai. Apa saja yang datang ya diterima.” alias perempuan itu tinggal menerima tanpa memilih lelaki)
Dan...ingat untuk membawa tissue
ke dalam ruang bioskop karena saya cukup banyak menumpahkan air mata dari awal
sampai akhir film ini.
Apakah saya baper karena Kartini
orang Jepara tempat di mana saya menyematkan tempat kelahiran saya di KTP? Bukan...kisahnya
memang indah dan pantas untuk direnungkan.
Rating : 4/5
Comments
Post a Comment