Mengapa Banyak Pernikahan Dini Terjadi di Desa?

 

(Judulnya selugu orang desa)

Ketika saya SMP ada sinetron yang amat terkenal berjudul Pernikahan Dini yang dibintangi oleh Agnez Monica dan Sahrul Gunawan. Waktu itu karena bintangnya Agnez Monica, maka saya menontonnya bersama anak-anak lain. Kami tidak terlalu paham apa tema sinetron ini, yang kami tahu sountrack sinetronnya bagus dan tentu saja Agnez Monica keren.

Seiring bertambahnya usia, dan pernikahan menjadi sebuah peristiwa yang kerap kali saya lihat, maka lambat laun saya tahu apa yang disebut sebagai pernikahan ini. Pernikahan yang dilakukan oleh manusia yang masih dianggap sangat muda usianya. Begitulah kira-kira definisi yang saya pahami.


gambar diambil dari Jatimtimes
gambar diambil dari Jatimtimes

Pernikahan dini adalah bagian dari hidup saya

Saya, iya saya..bukanlah pelaku pernikahan dini namun saya menjadi saksi mata dari begitu banyak pernikahan dini yang terjadi di desa saya. Saya ingat ketika saya masih kelas empat atau tiga SD, ada kakak kelas saya di kelas 6 yang dinikahkan sebelum lulus SD. Peristiwa itu cukup membuat ‘kaget’ banyak orang, namun tak sampai menjadi headline utama di koran-koran kabupaten. SD juga menjadi waktu di mana saya untuk kali pertama pergi kondangan, dan memberikan uang uleman sebesar 1 atau 2 ribu rupiah kepada sang pengantin yang saya ingat belum lulus MTs.

Ketika saya lulus SMP, saya hampir terjebak dalam pusaran pernikahan dini ini juga. Ada seorang pemuda desa yang datang ke orang tua saya, meminta ijin untuk menikahi saya. Untungnya, orang tua saya menolak dengan alasan saya masih ingin sekolah.

Masa SMA menjadi sebuah kelanjutan tren pernikahan dini ini. Jumlah teman saya yang menikah bahkan menjadi lebih banyak. Saya masih ingat ketika saya masih sekolah di jenajng MA, saya sering mendapat kabar kalau teman saya menikah di usia 16 atau 17 an tahun.

Alasan-Alasan Pernikahan Dini

Jika ada orang kota yang bertanya,”Kenapa seseorang (umumnya di desa) menikah di usia yang sangat muda?”, jawaban yang muncul pastilah klise. ”Ya biasa orang desa. Hidup mereka loh gitu-gitu aja, jadi ya ngapain lagi kalau nggak menikah.”

Dari perspektif orang kota, alasan seperti ini mungkin menjadi alasan umum yang dipahami khayalak. Akan tetapi, sebagai orang desa yang hidup dalam kumparan pernikahan dini ini, saya mungkin bisa sedikit menjabarkan dalam bentuk esai panjang...eh..ndak panajng-panjang amat.

Banyak sekali faktor yang mempengaruhi kenapa pernikahan dini banyak terjadi di Desa (khusunya desa saya waktu itu dan juga mungkin sekarang).

Keadaan Keuangan

Uang menjadi momok yang amat menakutkan bagi orang desa ketika saya kecil. keengganan orang sakit untuk pergi ke Rumah Sakit, ketakutan orang tua menyekolahkan anaknya, semuanya berakar pada satu masalah , uang. Banyak orang tua yang tidak memiliki jumlah uang yang cukup untuk menghidupi keluarga setiap hari , sehingga masalah pendidikan menjadi prioritas yang kesekian.

Hal seperti ini wajar karena kalau kita mengacu pada hirearki kebutuhan Maslow, kebutuhan fisiologis (seperti sandang, pangan, papan) akan menjadi kebutuhan yang diutamakan dari pada kebutuhan abstrak macam pendidikan. Singkatnya, orang tua tidak akan mengirim anaknya pergi ke sekolah jika perut mereka masih lapar. Satu contoh yang bisa diambil adalah ketika saya masih SMP, kami harus pergi ke sekolah yang jaraknya berpuluh-puluh kilometer dengan menggunakan angkutan umum yang penuh sesak. Untuk mengirim seorang anak ke sekolah di kota, maka orang tua harus menyediakan uang sangu (allowance) setiap hari. Naasnya, orang desa tidak memiliki gaji rutinan macam buruh di perusahaan. Kadang hari ini mereka punya uang , dan kadang di hari lain, uang menghilang dari kantong.

Sebagai sebuah catatan sampingan, kebanyakan orang di desa saya waktu itu bekerja sebagai tukang kayu dan bertani. Khususnya petani, mereka biasanya akan mendapat banyak uang di masa panen yang terjadi beberapa bulan sekali. Untuk mencukupi kebutuhan harian, mereka biasanya akan menjual barang kebun, atau menjadi buruh tani di tempat lain. Uang yang dihasilkan tidak seberapa dan mungkin hanya cukup untuk membeli lauk. Beberapa profesi yang bisa dikatakan beruntung adalah pedagang, karena mereka bisa mendapatkan uang setiap hari.

Argumen seperti ini mungkin akan dimentahkan oleh kenyataan bahwa ada beberapa anak orang kaya desa yang juga terjebak dalam kubangan pernikahan dini. Hal ini membawa kita ke a;asan berikutnya..

Tidak Punya Cita-Cita

I have a dream, a song to sing

To help me cope, with anything

 

Dua baris, lagu ABBA ini mungkin bisa menjadi penggambaran betapa kuatnya sebuah mimpi (cita-cita) dalam merubah kehidupan seseorang. Mimpi bisa menjadi sebuah jalan yang menjadi solusi (cope) mengatasi semua masalah yang ada. Dan kalau kita berbicara mengenai mimpi, anak desa hampir dipaksa untuk tidak memilikinya waktu itu (atau mungkin sekarang). Kenapa bisa seperti itu?

 

Selain faktor fundamentalis, uang, orang tua juga memiliki sebuah filososi bahwa,”hanya anak yang pintar yang berhak untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi” atau , ini berlaku untuk kebanyakan anak perempuan, “pada akhirnya anak cewek akan berakhir kerja di dapur, sumur dan kasur.”

 

Bukan hal yang salah jika anak yang memiliki nilai tinggi (pintar) adalah bukti bahwa dia adalah anak yang serius dan niat dalam hal sekolah. Anak seperti ini memang pantas diperjuangkan, dikirim ke jenjang sekolah lebih tinggi dan diharapkan akan menjadi anak yang lebih pintar lagi. Sementara itu, anak yang tidak pintar, atau biasa-biasa saja, dianggap tidak pantas untuk mendapatkan kesempatan belajar. Padahal kalau kita berbicara tentang tujuan mulia pendidikan, di sinilah letak inti kenapa kita mengirim anak-anak kita ke sekolah, dicerdaskan dan dibimbing.

 

Dalam ilmu pedagogi, masalah tidak pintar ini, penyebabnya belum tentu dari anak itu sendiri. Ada metode pengajaran, bakat, minat, lingkungan dan masih banyak lagi yang menjadi faktor kenapa seorang siswa tidak unggul di bidang akademik. Perbedaan seperti ini, tidak di hargai- atau kalau boleh saya menggantinya dengan frasa yang lebih halus- tidak dipahami oleh orang-orang tua di desa.  Bagi mereka, dengan mengirim anak ke sekolah, semua masalah kepintaran sudah terlepas dari tanggung jawab mereka. kenapa seperti itu? Jawabnya simple, karena kurangnya pendidikan orang tua mengenai potensi seorang anak.

 

Sikap kolot dari orang tua, yang tidak memupuk anak memiliki sebuah mimpi, menjadi pendorong kenapa anak-anak di desa jarang yang bermimpi tinggi. Banyak input kalimat negatif (destructive) yang diterima oleh seorang anak sehingga mereka tidak berani bermimpi.

 

Untuk masalah cewek nanti akhirnya ada di kasur, sumur dan dapur..sebenarnya..hmm...ini adalah perkataan kuno yang cukup mendarah daging di masyarakat pedesaan generasi lama. Mereka melihat bukti otentik bahwa perempuan memang pada akhirnya akan mengurus anak, dan melayani suami karena tidak adanya atau jarang sekali ada contoh figur perempuan yang berkarya nyata di masyarakat dengan posisi tinggi. Sekarang ini, pola pikir ini perlahan-lahan sudah terkikis karena banyak perempuan yang sudah menunjukkan tajinya di hadapan khayalak.  

 

Pernikahan Dini itu Lumrah, bukan Fenomena Aneh

Ada satu pengalaman yang ingin saya bagi berkaitan dengan kata lumrah ini. Dulu, ketika saya belum ke Jakarta dan menyaksikan sungai kotor di ibukota lewat saluran TV, saya bergumam,”Kok bisa ya orang Jakarta tinggal di bantaran sungai sekeruh itu. Dan apakah mereka tidak risih dengan air yang hitam pekat seperti itu?”

Setelah saya ke Jakarta, saya merasakan sesuatu yang aneh terjadi dengan diri saya. Sama seperti orang yang saya maki di TV, saya juga menjadi apatis dengan sungai kotor. Tumpukan sampah yang saya lihat di sungai menjadi sebuah kelumrahan yang memang sudah wajar ada di sana. Nothing you can do about it, man!

Saya pun melamun memikirkan perubahan ini dan jawaban yang muncul adalah karena saya hidup di lingkungan yang membiasakan hal seperti ini terjadi. Jika tidak orang lain yang merasa risih dan dosa melihat sungai kotor, mungkin ini memang sudah wajar.

Kelumarahan pada fenomena pernikahan dini, salah satunya juga disebabkan karena tidak banyak orang yang merasa bahwa praktek menikahkan seorang gadis berusia 16 tahun dengan pemuda berusia 19 tahun sebuah kesalahan atau keanehan.  Banyak yang melakukannya jadi tidak salah juga kalau saya melakukannya juga. Ditambah dengan faktor-faktor yang sudah disebutkan sebelumnya, maka pernikahan dini menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Dengan mengikuti kewajaran kita akan menjadi bagian dari kelompok. Dan manusia cenderung akan menghindari sebuah kegiatan yang tidak populis karena takut merasa tersingkir dari dari kelompok.

Dukungan Penuh Keluarga

Anak kota yang berani menikah di usia, katakanlah 17 tahun, beresiko harus menanggung beberapa hal, seperti mencari uang sendiri untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya dan tinggal jauh dari orang tua. Normalnya, pasangan yang sudah menikah harus keluar dari rumah untuk membina rumah tangga bahagia. Resiko sebesar ini tentu akan menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi pada anak-anak remaja kota yang belum memiliki pekerjaan dan tahu betapa kota bisa menjadi lebih kejam dari pada gunung berapi.

Hal seperti ini, tidak akan terjadi pada pasangan muda-mudi yang baru menikah di desa. Orang tua di desa dikenal suka ‘memanjakan’ anak-anak mereka. Entah mungkin dari keyakinan bahwa sudah tugas orang tua untuk memenuhi kewajiban mereka mengurusi anak atau karena memang mereka punya aset untuk melakukannya.

Aset yang saya maksud adalah tanah dan apa pun yang ada di atasnya, termasuk rumah. Salah satu keuntungan menjadi orang desa adalah kekayaan tanah yang dimiliki. Biasanya orang tua akan mewariskan tanah pada anak-anaknya, dan bahkan memberikan rumah mereka pada anak yang baru menikah.

Kenyamanan tempat tinggal ini, menurut saya, menjadi salah satu pendorong terbesar kenapa remaja di usia belasan tahun berani untuk melamar anak orang bersama orang tuanya. Ada sebuah reliance, yang membuat mereka siap menanggung resiko menikah. Selain itu, dengan bekal sebuah keyakinan bahwa orang tua tidak akan tega melihat anaknya menderita, maka kebanyakan mereka berpikir jika suatu saat nanti mereka tidak punya uang untuk makan masih ada orang tua yang sedang cinta kasihnya akan membantu.

Pernikahan dini merupakan fenomena yang berdasar pada begitu banyak hal di masyarakat pedesaan. Sampai sekarang, tren pernikahan dini masih banyak dilakukan meski rentang usia yang menikah naik (lulusan SMA). Faktor-faktor yang saya tulis mungkin hanya sedikit menyingung penyebab pernikahan dini. Meski begitu, setidaknya begitulah yang terjadi di sekitar saya.

Sebenarnya, banyak pernikahan dini yang berhasil. Kata berhasil yang saya maksud adalah pasangan tidak bercerai dan memiliki keturunan banyak. Bahkan di beberapa kasus, ada pasangan pernikahan dini yang mampu mencapai kematangan finansial yang  melebihi pasangan yang menikah di usai dewasa.

Kalau sudah seperti ini, apakah ada yang salah dengan pernikahan dini? Toh orang kota yang katanya sudah menikah di usia dewasa juga banyak yang bercerai?

 Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tambahan macam ini, (mungkin) nanti saya akan menulisnya di lain kesempatan.


 

Comments

Post a Comment

Popular Posts