Bumi Manusia (Book Review)
Mengenal Negeri Ini Sebelum Ada
taken from Gerakbudaya |
Butuh waktu hanya seminggu bagi saya untuk menyelesaikan novel roman Bumi
Manusia karya sastrawan besar Indonesia, Pak Pramoedya. Sebelumnya hanya satu
dari banyak sekali karya beliau yang saya baca.
Kebetulan waktu itu di toko buku saya
tertarik untuk membaca buku tentang Kartini karena asal saya, Jepara. Dan
kebetulan juga buku yang saya baca karya dari Pram (sebutan akrab beliau). Kesan yang saya dapat dari membaca buku tentang Kartini
begitu mendalam sampai saya meneteskan air mata (hal ini juga yang membuat saya
tertarik sekali untuk menonton film karya Hanung Bramantyo berjudul Kartini
–yang inspirasi terbesarnya diambil dari buku Kartini karya Pram). Maka dari
ikhwal pertemuan inilah saya mencoba mengakrabi karya-karya Pram.
Bumi manusia merupakan
satu dari rangkaian tetralogi Pulau Buru; adalah sebuah tempat di mana Pram
mendekam dalam penjara pada masa orde Baru dan menelurkan 4 buku. Setelah
membaca novel ini, tentu saya tidak akan melewatkan 3 yang tersisa.
Bumi manusia mengangkat
cerita Minke (si anak bupati B –kayaknya Blitar) yang bersekolah di HBS Surabaya
dan merupakan satu dari sedikit pribumi yang ada di sekolah itu. Setting yang
terjadi pada akhir abad 19, membuat Pram sering menggunakan kata pribumi,
peranakan/indo dan totok yang dari cerita Bumi manusia ini sering digunakan
untuk mengkastakan masyarakat. Sekilas ini mirip dengan politik apartheid
Afrika selatan yang membagi golongan manusia menjadi berdasarkan warna kulit.
Pribumi merujuk pada golongan manusia Jawa yang dalam masyarakat Hindia belanda
waktu itu menduduki kasta paling bawah, disusul peranakan/indo yang merupakan
campuran antara orang kulit putih dan Jawa, dan yang tertinggi adalah totok
Eropa yang merupakan keturunan Belanda asli. Ada juga golongan timur asing yang
mengacu pada keturunan Cina.
Kisah Minke diawali dengan
kepergiannya ke rumah seorang Nyai (sebutan untuk gundik –bukan istri- orang
kulit putih Belanda) Ontosoroh di
Wonokromo menemani teman satu sekolahnya bernama Robert Suurhoof . Nyai
Ontosoroh- yang bernama asli Sukinem- adalah seorang pengusaha sukses yang
mengelola berbagai unit bisnis – peternakan, pemerahan susu, dan pertanian) terusan
dari bisnis suaminya, Tuan Mellema. Tuan Mellema meninggalkan usahanya karena
dilanda frustasi dengan kedatangan anaknya dari Belanda yang kemudian membuat
membuat Tuan Mellema juga sering meninggalkan rumah dan berlaku kasar pada
istrinya.
Hasil dari perkawinannya yang
tidak resmi dengan Tuan Mellema, Nyai Ontosoroh memiliki dua anak; Robert
Mellema dan Annelis Mellema. Singkat cerita Robert Suurhoof yang datang ke
Wonokromo dengan tujuan mengambil hati Annelies, harus menelan kekecewaan karena
Annelies ternyata jatuh cinta kepada Minke. Di pertemuan pertama, sikap Minke
yang berani mencium Annelies, tidak dilarang
oleh ibunya dan bahkan direstui. Nyai Ontosoroh juga menawarkan supaya
Minke tinggal di rumah mereka yang megah karena Annelies tidak punya teman.
Sikap Nyai Ontosoroh yang sangat
tidak lazim terjadi dengan perempuan Jawa (Apalagi dengan status gundik ) waktu
itu membekas dalam pikiran Minke. Anggapan-anggapan bahwa wanita Jawa itu tidak
berpengetahuan, malu mengutarakan pendapat dan nerimo dengan keadaan sama
sekali tidak dia temukan dalam diri Nyai Ontosoroh.
"Sosok perempuan itu sudah kelewat
modern bahkan mungkin untuk ukuran wanita di Belanda sana."
Singkat cerita Minke memutuskan
untuk tinggal di rumah Nyai Ontosoroh di Wonokromo dan berdekatan dengan
Annelies hingga mereka tidur dalam satu kamar. Apa yang terjadi setelahnya
membuka masa lalu Annelies yang kelam. Cerita kehidupan anak Indo ini ternyata
lebih kelam dari yang Minke pernah bayangkan. Hubungannya yang tidak harmonis
dengan kakaknya Robert Mellema ternyata mengarah pada apa yang terjadi di masa
lalu.
Sekilas novel ini seperti sebuah
roman biasa yang menyoroti cerita cinta antara Minke dan Annelies, tetapi Bumi Manusia
sebenarnya (menurut saya) memakai roman untuk memudahkan kita memasuki setting
akhir abad ke-19 dari penokohan yang sangat detil dan nyata. Ada krisis identitas
yang dialami Minke sebagai pribumi priyayi Jawa yang dididik cara Eropa untuk
menempatkan dirinya di antara bangsanya sendiri (jawa) yang dianggap rendah dan
Eropa (sebagai penguasa kolonial yang dijunjung tinggi dalam tataran
modernitas). Minke adalah sosok anak bangsa yang terus merasa resah mencari
siapa dirinya. Kemampuannya menulis dia baktikan untuk surat kabar berbahasa
Belanda karena dari apa yang lumrah terjadi pada waktu itu, bahasa Belanda atau
segala yang berhubungan dengan Belanda tak lebih kurang terasa lebih berbudaya,
keren dan modern. Dia menolak habis-habisan menulis dalam bahasa Melayu karena
level bahasa itu yang dianggap rendah.
Selain itu, diskusi-diskusi
antara dirinya dan guru sekolah favoritnya Magda Peters (seorang liberal
Belanda) juga sangat menarik. Mereka banyak memperbincangkan tentang humanisme
dan kesalahan-kesalahan kaum kolonial.
Ada juga seorang karakter orang Perancis bernama Jean Marais ynag pincang –
veteran perang Aceh yang memiliki anak bernama May dari seorang wanita
Aceh-yang merupakan sahabat Minke. Keluarga de La Croix yang Minke temui ketika
dipaksa pulang berkunjung ke Kabupaten B menemui ayah dan bundanya juga menjadi
sesuatu yang menarik dalam mengungkap kisah sejarah kolonial di negeri ini.
Banyak hal yang bisa kita
dapatkan dalam novel roman Bumi Manusia ini apalagi terkait dengan sejarah
kolonial panjang Indonesia selama 350-an tahun yang tidak bisa kita dapatkan
dalam buku-buku sejarah. Kalau kita bandingkan buku-buku sejarah ditulis dalam
gaya Objektif dan bersifat deskriptif garing yang membuat kita merasa jauh dari
semua peristiwa yang katanya ‘penting’ untuk mengenal negeri ini. Karena ini
novel maka kita digiring untuk bersimpati bahkan empati terhadap para karakter
yang seolah-olah mengajak kita untuk memasuki ranah paling pribadi dan tertutup
yakni pikiran dan hati. Saya tidak pernah menyangka bahwa kolonial itu adalah
pemerintahan. Dulu saya selalu membayangkan bahwa orang Belanda selama 350
tahun memaksa dan berperang dengann Rakyat Indonesia. (Meski novel biasanya lebih banyak didominasi cerita fiktif, kita akan tahu bahwa si pengarang tidak hanya sekedar memfiktifsasi tanpa dasar karena ketajamannya dalam memasukkan nama, tempat, buku dan peristiwa yang memang ada dalam dunia nyata).
Anggapan saya buyar
berkeping-keping ketika satu bab selesai saya baca. Pemerintah adalah sebuah
sistem yang kalau sampai bisa muncul di masyarkat berarti ada penyebab yang
membuatnya mungkin. Kenapa Belanda bisa meng-colonialized bangsa-bangsa di
Nusantara? Selain faktor ekternal seperti tipu muslihat politik yang dilakukan
oleh orang-orang Belanda di awal kedatangannya ke Indonesia, faktor internal
tak kalah memainkann peran pentingnya. Ada yang mungkin salah dengan sistem
internal kerajaan-kerajaan di Indonesia waktu itu. Tuan tanah, pejabat
pemerintah, bupati dll mau didekati oleh orang-orang kolonial sehingga mereka
terasa jauh dari keberpihakan terhadap rakyat jelata. Adanya kebanggaan yang
berlebih-lebihan terhadap derajat yang lebih tinggi dari para priyayi kepada
para kaum petani (yang merupakan populitas terbesar Jawa waktu itu) juga –menurut
saya - setelah membaca buku ini- memainkan peran yang tak kalah pentingnya. Rasa
minder menjadi orang desa dan petani inilah yang masih bisa saya rasakan sampai
sekarang. Saya kadang secara tidak sadar merasa bahwa petani adalah pekerjaan
rendahan yang dilakukan oleh orang desa dengan tingkat pendidikan yang rendah. Astagfirullah!
Saya kena hasil peninggalan usang nenek moyang saya- terlebih-lebih jaman
kolonial.
Novel Bumi Manusia, sangat layak
sekali untuk dijadikan referensi bacaan untuk mengenal negeri ini secara lebih subjektif dan personal. Kita
akan lebih tahu bahwa penjajahan Belanda selama kurang lebih 350 tahun membawa
dampak yang sangat besar dalam kehidupan bangsa Indonesia dan dan mungkin
akibatnya sampai sekarang. Kita juga mungkin akan sadar bahwa waktu yang sangat
lama itu telah membuat orang-orang nerima keadaan tanpa bisa melakukan sesuatu.
Bahwa memulai sesuatu untuk melakukan perubahan itu tidak segampang membalikkan
telapak tangan. Minke adalah contoh dari kebimbangan itu. Butuh waktu lama bagi
pemuda cerdas ini untuk sadar bahwa dia juga bisa mengambil peran untuk memajukan
bangsanya.
Akhir kata, saya akan menutup
review ini dengan sebuah cerita personal yang saya dengar dari orang tua saya
yang mungkin ada relevansinya dengan keadaan dalam Bumi Manusia. Ayah dan Ibu
saya lahir di sebuah desa di Jepara tahun 1960-an. Mereka sering bercerita
ketika kecil kehidupan yang mereka jalani sangat susah- deskripsi yang hampir
sama saya temukan dengan keadaan di Anak Semua Bangsa (sequel). Makan dari
umbi-umbian, jarang makan nasi putih dan sering harus berbagi makanan dengan
saudara-saudara mereka yang sangat banyak. Tidak ada pendidikan layak yang
mereka dapatkan karena kebutuhan primer seperti pangan, papan dan sandang masih
susah untuk didapatkan. Sekali lagi masa kanak-kanak orang tua saya berarti di
sekitar tahun 1970-an. Jika kondisi akhir abad 19 di Jawa ditemukan dan sama
dengan pertengahan akhir abad 20 (sekitar 30 tahun setelah merdeka), lalu apa
bedanya pemerintah kita waktu itu dengan kolonial Belanda yang dahulu ditumpas (dan mungkin juga sekarang0. Bukankah sejatinya pemerintah ada untuk memakmurkan kehidupan rakyat? Jika
tidak, pasti ada yang salah dengan cara kita membentuk negeri ini.
Note : Setelah ini saya pasti akan menyelesaikan 3 novel lainnya dan meresensinya untuk para pembaca budiman.
Comments
Post a Comment