Maut (monologue)
Aku
melihat sebuah keluarga.
Si Ayah baru saja pergi meninggalkan dunia setelah 12 purnama berjuang melawan rasa sakit pada jantungnya. Si Ibu dengan setia menunggu di luar bangsal ICU sebelum si Ayah mengucapkan selamat tinggal pada semua. Karena dia bukan lelaki yang punya banyak kata, maka, tak terlalu banyak hal yang bisa dikatakan sebelum dia menghela napas terakhirnya. Mungkin... dia sangat sedih meninggalkan keluarganya. Anak keduanya masih belia dan cucu dari anak lelaki pertamanya sedang lucu-lucunya. Oh, seandainya dia bisa sedikit menawar pada si maut, mungkin dia ingin hidup sedikit lebih lama. Dia ingin menjadi wali untuk pernikahan anak keduanya dan melihat kedua cucu-cucunya disunat, kemudian dirayakan dengan hiburan ala kadarnya.
https://static.sadhguru.org/d/46272/1633182308-1633182307497.jpg
Itu
saja. Dia tak mengharap menyaksikan cucu-cucunya masuk SMP, SMA dan jika ada
rezeki mungkin masuk kuliah. Itu terlalu jauh. Dia tak setamak itu meminta umur
yang panjang. Dia tahu dan sadar bagaimana tubuhnya.
Sayang,
sang maut itu kokoh, bergeming dan begitu perkasa. Dia tak bisa ditawar dan dia
tak bisa diminta untuk mengiba atau mengerti manusia. Dia akan datang pada
siapa yang dia kehendaki; entah itu bayi yang masih merah, balita yang
berkepala besar, anak SD yang berenang di tempat galian tambang, anak SMP yang
baru mulai merasakan nikmatnya mengendarai sepeda motor, anak SMA yang menyukai
petualangan, atau siapa saja yang sedang melakukan apa saja dengan siapa saja.
Jadi,
jangan memberi iba pada si anak gadis belia yang ditinggal mati ayahnya dengan
berucap,”Kasihan ya si Solekha. Seandainya, si ayah masih hidup ya? dia pasti
akan senang melihat putrinya menikah. Kasihan ya, nikah ndak ada ayahnya.”
Kalimat
itu bernada bahwa kita menyalahkan si maut atas apa yang terjadi dengan
kesengsaraan hidup kita. Mungkin, iya. Si maut memang tak berbelas kasihan pada
kita. Dia datang di saat yang kita rasa tak tepat. Tapi....maut juga
perlambangan dari Yang Maha Pemberi Nyawa. Jika Dia berkehendak, maka kita bisa
apa selain pasrah pada-Nya.
Mungkin,
kata-kata ini bisa menjadi deretan kata manis untuk menghibur si anak gadis.
Mungkin kita bisa berucap memberi penghiburan,”Ayahmu pasti bahagia di alam
sana melihat kau menikah dengan bahagia di sini.”
Jika
si maut memisahkan raga ayah dari si anak, maka setidaknya kalimat ini
melambangkan keabadian jiwa.
Orang
yang kita sayangi akan selalu hidup dalam hati kita.Mereka abadi dalam diri
kita. Dan di ranah ini, aku kira, maut terlihat tak terlalu perkasa.
Comments
Post a Comment