Pacaran (Cerpen republished from Kompasiana)
Malam itu aku duduk di balkon, bersama Eneng teman kosku. Kami membicarakan banyak hal. Maklum anak perantauan seperti kami memang butuh waktu untuk berbagi jika tidak ingin terjebak dalam zona kesepian. Apalagi setelah seharian berkutat dengan pekerjaan yang melelahkan, obrolan ringan sambil diselipi sesapan teh manis yang masih mengepul adalah obat untuk hati yang meruntuk dan merindu akan kebingaran.
Dari keluhan-keluhan teman kerja dan pekerjaan, kami beralih ke topik masa lalu. Kisah percintaan kami yang tak terlalu mendapat banyak peruntungan karena nasib atau takdir membuat kita tidak bisa melanjutkan hidup bersama orang yang kita cintai. Enengharus melepaskan kekasihnya untuk menikahi wanita lain (baca teman dekat) setelah 3 tahun berpacaraan. Meski setelah dua tahun berlalu dia sadar bahwa takdir ini bukanlah sesuatu yang dia ingin debatkan dengan Tuhan.
Dia
menjadi wanita dewasa dan pada akhirnya, pikirannya dengan logis mendapati
sebuah kesadaran kematangan bahwa dia memang belum siap untuk naik pelaminan.
Kini dia sedang menunggu cinta yang dulu pernah bermekaran di dalam hatinya
akan tumbuh lagi. Hanya saja, penantian itu memintanya untuk lebih sabar karena
sampai sekarang tidak ada seorang lelaki pun yang berhasil menyemai tunas cinta
itu dalam hatinya.
“Mbak, pernah pacaran?”
Pertanyaan Eneng membuatku tersenyum tipis. Aku menyesap lagi cairan teh manis untuk membasahi tenggorokanku supaya kumpulan cerita yang sudah tersusun padat dalam otakku bisa terucap lancar; tanpa sekatan.
Bagi wanita yang baru saja menapaki usia 30 pertanyaan seperti ini bukanlah sebuah kesulitan mengingat pengalaman hidupku yang 5 tahun lebih panjang dari dirinya. Aku sering memberikannya nasihat tentang bersabar menunggu cinta dan memberikan potongan-potongan perkataan para ulama dan motivator ulung supaya kesabaran itu selalu lebih unggul dari pada kecemasan.
Hanya saja, soal pacaran bukanlah bidang yang aku selami dengan baik. Aku membaca banyak buku tentang hubungan dua orang manusia mulai dari Mars versus Venus, hingga psikologi orang menikah dan aku juga menonton film-film dewasa untuk menyaksikan sendiri bagaimana seks itu menjadi sesuatu yang menyatukan dan juga memisahkan wanita dan lelaki. Kontradiksinya, aku sama sekali tidak pernah pergi berduaan dengan lelaki yang aku sukai.
https://stock.adobe.com/id/images/cute-hearts-couple-sitting-cartoon-love-relationship-vector-illustration-drawing-image/192893290 |
Mata Enengmengunciku supaya aku melontarkan kalimat jawaban sama halnya ketika dia meminta nasihat untuk mengurangi kegalauan hatinya. Namun, aku merasa terdesak dan begitu kelimpungan sekedar untuk mengelak atau menjawab.
“Pacaran?”
ulangku sengaja untuk mengulur tensi.
“hmmm..Pacaran?
masak orang kayak Mbak gak pernah pacaran. Mbak itu pintar, cantik, mandiri.
Paket lengkap untuk menjadi pacar.”
Dia meringis.
Ini
adalah jalan buntu yang tidak bisa aku tembus lagi. Aku berada di tepi garis
finish yang memaksaku untuk berteriak karena aku sudah selesai.
Dengan pelan aku berdiri mencoba melonggarkan dadaku yang tiba-tiba bergemuruh kacau. Teh yang terasa panas kini sudah berubah menjadi sedingin udara malam yang kian sepi. Kesepian itu menghantamku lagi dan serta-merta aku menjadi sangat ketakutan. Dua hari yang lalu, aku mendapat sebuah sorakan kegembiraan dilengkapi dengan confetti kerlap-kerlip yang bertaburan mengiringi angka 30 yang disematkan dalam diriku satu tahun ke depan.
Enengmasih
menantikanku untuk menjawab pertanyaannya dalam penantian yang sangat antusias.
“Nggak
ada yang perlu diceritain. Aku nggak pernah pacaran.” Aku kalah. Aku tidak bisa
berbohong.
Suara gelak tawa renyah terdengar dari belakang. Aku menoleh menelisik wajah Eneng yang benar-benar merah karena tertawa terlalu keras. Dia bahkan memukul-mukul pagar balkon karena saking tidak kuat menahan urgensi terbahak-bahaknya.
“Mbak,
kalau bercanda jangan yang soal ginian dong. Lucu abis.”
Enengsama
sekali tidak bisa membaca mimik wajahku. Apa yang aku katakan adalah kejujuran.
Aku tidak punya cerita lain lagi.
“Beneran.
Aku nggak pernah pacaran, jadi nggak ada yang bisa diceritain.”
Kali ini
berhasil. Suara gelak tawa yang aku rasa sebagai sebuah sindiran perlahan
menghilang bersama desiran angin. Mata gadis itu berganti menjadi sorotan iba.
“Terus?”
“Apa?”
“Cerita-cerita
Mbak selama ini?”
“Yang
apanya?”
“Bahwa
cinta itu harus logis?”
“Ya
kenapa?”
“dapet
dari mana?”
“nonton,
baca, dengerin orang dan.......”
Aku
berhenti mengucapkan deretan kata. Sebersit wajah muncul dipelupuk mataku,
begitu tenang dan indah untuk dikenang. Dia mengecup keningku dengan lembut dan
mendekapku dalam pelukan terhangat yang pernah aku rasakan seumur hidupku. Aku
menatap bola matanya dalam-dalam, menelisik semburat warna coklat terang yang
menyusun pupil matanya. Aku tahu ini yang namanya cinta karena setelah itu aku
hampir tak bisa membayangkan hal lain selain menginginkan untuk menghabiskan
setiap detik bersamanya.
“Apa?” Enengmenungguku gusar.
“Sudah
malam. Besok aku harus masuk pagi.”
Ku bereskan segala benda yang aku taruh di atas meja kecil. Aku terburu-buru masuk kembali ke dalam kamar tanpa merasa perlu untuk berpamitan dengan Enengseperti pada malam-malam yang sering kami lewatkan.
Aku
menutup pintu keras-keras seolah-olah melarang kenangan itu untuk muncul
kembali. Tidak dalam kamar kos ini. Kenangan itu terlalu usang dan berkarat
untuk berdampingan dengan segala perabot modern yang aku susun terlalu rapi
dalam kubikel berukuran 3 x 2 meter. Ini adalah selku untuk mengunci segala
kecarut-marutan memori-memori lapuk itu.
Comments
Post a Comment