Penang, My First Overseas Trip (Part 1)
Jam menunjuk ke 3.50 pagi. Saya kesiangan. Rencananya, saya harus bangun pukul 3 pagi kemudian membersihkan diri dan berangkat naik motor ke Bangsri untuk ikut kendaraan travel ke Semarang pukul 4.30 pagi. Untung, adik saya bangun pagian, jadi ketika saya riweuh ganti baju dan bersiap, dia sudah ready-to-go di atas motor.
Udara pagi begitu dingin. Matahari belum menyembul tetapi langit sudah sedikit berganti warna dengan garis keemasan di ujung timur. Sepanjang jalan pagi yang gelap, saya banyak bicara di jok belakang Beat dengan koper biru hadiah dari EF dua tahun yang lalu di atas paha. Adik saya melajukan motor dengan santainya tanpa sedikit pun menggubris apa yang saya kicaukan. Saya tak kecewa dengan sikapnya. Untuk apa mengeluhkan sikap acuh tak acuh dia kalau sebentar lagi saya akan melakukan perjalanan bersejarah dalam hidup saya.
Koper biru hadiah dari EF |
Karena jalanan masih gelap dan sepi, sekitar 20 menit kemudian, saya sampai di lokasi penjemputan. Kami menunggu sebentar dan mobil travel pun datang. Saya pamit dengan adik dan kemudian duduk di kursi depan dekat pak supir.
Perjalanan mobil dari Bangsri ke Semarang normalnya memakan waktu sekitar 2 jam lebih kalau jalanan normal. Akan tetapi, karena ada pembangunan jembatan di Demak, maka diperkirakan agak telat sampai Semarang.
Voila!! ternyata butuh waktu 3 jam untuk sampai di Semarang.
Saya sampai di Tawang pukul 7.30 pagi. Masih ada waktu sekitar 40 menit sebelum kereta berangkat ke Surabaya. Di pagi hari, Tawang tak terlalu ramai. Saya mencetak boarding pass, cari sarapan dan menunggu kereta. Sambil menunggu, saya memperhatikan apa saja yang ada di sekitar saya. Stasiun Tawang perlahan-lahan menjadi begitu familiar buat saya. Seingat saya, saya sudah berkali-kali berada di stasiun ini entah untuk pergi ke Surabaya atau kota lain. Padahal dulu, ketika saya masih sering bolak-balik Jepara-Jakarta, saya sama sekali tak mengenal stasiun ini. Kereta antar provinsi adalah keriwehan yang ingin saya hindari karena memakan waktu. Bagi penduduk Jepara, bus menjadi pilihan transportasi yang lebih praktis karena banyak sekali armada yang menyediakan jasa angkutan dari Jepara-Jakarta atau sebaliknya.
Pukul 8.21 pagi, kereta Ambarawa yang membawa saya dari Semarang berangkat. Karena tak cukup tidur, saya pun berencana menghabiskan perjalanan selama 4 jam lebih untuk tidur. Hanya saja, yang terjadi sedikit berbeda. Saya masih menyukai It Started With A Kiss dan They Kiss Again, jadi selama perjalanan saya menyempatkan untuk melihat kisah cinta Jiang Zhi Shu dan Yuan XIang Qin. Sesekali saya melihat ke luar jendela kereta menikmati pemandangan sawah dan alam Jawa. Penumpang di samping saya sepertinya adalah atlet dari angkatan darat atau laut. Dia melakukan panggilan telepon dengan seorang bapak-bapak dan kemudian pergi ke belakang menemui sekawanannya dan tidak kembali lagi. Jadi, saya leluasa berbicara dengan seorang teman di ponsel tentang dunia mengajar dan juga sedikit cerita hidup. Seperti biasa, kami tidak pernah sebentar jika sudah menelepon. Selama dua jam, kami berbicara tentang banyak hal.
Kereta perlahan meninggalkan Jawa Tengah dan bergerak menuju Jawa Timur. Setelah meninggalkan Bojonegoro, saya sedikit mengistirahatkan diri dengan tidur sebentar. Surabaya mulai terlihat ketika saya bangun beberapa menit kemudian. Gedung-gedung di kota ini tampak familiar; Royal Plaza, stasiun Wonokromo, Stasiun Gubeng, Tunjungan Plaza, Kalimas, gedung Siola, semuanya adalah tempat yang dulu pernah saya jelajahi dalam kehidupan lima tahun lebih saya di kota Pahlawan ini. Seperti Jakarta yang menyimpan banyak memori bagi saya, Surabaya juga memberikan saya kenangan indah. Saya merasa akrab dengan kota ini bukan karena bangunan-bangunannya atau bahasanya, akan tetapi karena hubungan yang saya miliki dengan manusia-manusia di sini. Teman-teman baik saya banyak yang berasal dari kota ini.
Bunyi rel bergesek dengan roda kereta terdengar. Kereta melambat dan berhenti di stasiun Pasar Turi. Ini merupakan pemberhentian kereta dari jalur utara jawa di kota Surabaya. Saya membereskan barang bawaan dan bersiap untuk turun. Koper biru saya yang istimewa seolah juga ikut bersiap. Dia seperti menanti petualangan apa yang akan dia temui dengan si pemiliknya.
Saya janjian akan bertemu dengan Mbak Nia di sebuah restoran pukul 2 an. Mbak Nia ini adalah teman yang nanti akan bersama saya berpetualang ke tempat baru. Dia meminta saya untuk mampir ke kantor lama karena dia ada urusan di sana. Akan tetapi, sama seperti ketika kita bertemu mantan, kantor lama terasa tak nyaman untuk saya kunjungi. Untung, di menit-menit terakhir dia mengubah lokasi bertemu, jadinya saya melihat wajah sumringahnya di sebuah restoran steak di dekat kantor. Tapi, yang namanya takdir itu memang aneh. Meski sudah dihindari, pada akhirnya saya tetap datang ke kantor.
Vista banyak berubah. Tempat saya mengajar TOEFL dan IELTS selama 4 tahun ini tampak lebih modern dan sedikit sepi. Sepi karena banyak wajah yang tak saya kenal. Untungnya, beberapa anak akunting masih tampak familiar. Kami mengobrol ke sana-ke mari sebentar dan Mbak Nia tak lupa juga mengadakan office tour ke lantai tiga, tempat di mana dulu saya banyak berkarya sebagai teacher, kolega kerja, karyawan dan mungkin juga teman. Oh iya, ada wajah lama yang tampak akrab di pojokan ruang. Mas Andre, si gondong yang selalu asyik ketika sudah bercerita.
Sore hari, Mbak Nia mengendarai mobilnya menuju rumahnya di Sidoarjo. Di sepanjang jalan, kami banyak mengobrol, terutama beberapa hal terkait dengan persiapan menuju tempat baru, masalah hidup dan juga beberapa hal remeh temeh. Tak lupa juga, kami mengunjungi salah satu mall di Surabaya Barat mengurus sebuah pertanyaan ke Air Asia "Apakah kami perlu asuransi penerbangan?". Staf di sana memberikan kami jawaban kalau sudah tidak diperlukan asuransi untuk mengunjungi tempat ini, jadi kami pun meninggalkan kantor Air Asia dengan lega dan jalan-jalan sebentar di Pakuwon Mall.
Jam menunjuk ke angka sekitar 7 malam begitu kami sampai di rumah Mbak Nia. Saya membongkar koper,membersihkan diri dan kemudian packing lagi. Sementara Mbak Nia sibuk dengan packing-nya, saya memutuskan untuk tidur dulu. Pesawat terbang pukul 5 pagi. Dan karena kami harus melewati imigrasi dan mungkin ada sedikit prosedur lain yang harus kami lewati, maka kami memutuskan untuk pergi ke bandara pukul 2 pagi. Dengan melihat jam yang begitu awal dan saya merasa belum beristirahat dengan cukup sejak berangkat dari rumah, maka saya harus istirahat dulu.
Pagi-pagi sekitar pukul 3 pagi kami berangkat ke bandara. Kakak Mbak Nia berbaik hati mengantar kami ke sana. Jalanan Sidoarjo di pagi hari sangat lancar. Tanpa adanya kemacetan, perjalanan dari rumah ke bandara ditempuh dalam waktu tidak sampai satu jam. Sesampai di Juanda, sudah banyak calon penumpang yang bersiap-siap. Kebanyakan adalah penumpang Air Asia. Tempat yang akan saya kunjungi ini terkenal sebagai destinasi pengobatan, jadi tak aneh kalau saya melihat beberapa orang yang tampaknya sakit di bandara dalam barisan kami.
koper kami |
Karena check in harus dilakukan secara manual, kami antri untuk mendapatkan boarding pass. Baru setelah itu, kami ke lantai atas untuk melewati bagian keimigrasian. Setelah dari tahun 2017 saya membuat passport, untuk kali pertama ini, passport Indonesia saya berguna. Dua pertanyaan dari petugas imigrasi dan satu stempel darinya membuat saya masuk ke dunia kenyataan. Mimpi memang bisa menjadi nyata jika Tuhan Yang Maha Kuasa sudah berkenan.
Jumat, 12 Agustus 2022, saya resmi pergi ke Penang, Malaysia.
Air Asia ternyata tak terbang sesuai jadwal. Ada delay sekitar setengah jam-an. Pesawat yang seharusnya berangkat pukul 5 pagi berubah terbang sedikit siang. Setelah lama kami menunggu, kami akhirnya diizinkan masuk pesawat.
Kami mendapatkan tempat duduk di deretan belakang. Setelah menaruh koper di kabin dan duduk tenang memakai sabuk pengaman, saya memakai headset. Sebuah pelajaran saya dapatkan ketika dulu saya terbang dari Bali ke Surabaya. Telinga saya menjadi bermasalah ketika mendengar suara pesawat lepas landas. Saya sampai harus pergi ke rumah sakit dan melakukan perawatan dengan telinga selama satu bulan karena desingan pesawat. Kali ini, saya akan memakai headset untuk melindungi salah satu panca indera penting manusia ini.
Selama tiga jam di udara, saya hanya bisa berdoa pada Allah SWT yang Maha Baik sambil memegang headset saya, serta tak henti-hentinya mengagumi keajaiban berada di atas awan. The world is amazing and humans are indeed amazing as well!
dunia di atas awan |
Mungkin ini juga alasan kenapa dulu malaikat dan jin diminta untuk menghormati Adam. Anak keturunannya memang punya daya membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Satu keahlian yang tak dimiliki mahluk Tuhan yang lain.
(To Be Continued)
Comments
Post a Comment