Solo Travelling To Bandung

Akhir tahun ini, saya memutuskan untuk pergi ke Bandung. Ada beberapa alasan kenapa saya memutuskan untuk pergi ke kota Kembang ini; satu, saya belum pernah pergi ke Bandung sebelumnya. Dua, saya ingin mencari udara perkotaan dari kesibukan saya bekerja di desa. Akhirnya, setelah memikirkan dan merencanakan perjalanan selama kurang lebih dari satu bulan, 11 Desember 2021, saya pergi ke Bandung. Kalau ada yang tanya sama siapa? Jawabannya adalah sama diri saya sendiri. Kalau ada yang tanya lagi, 'Kok berani?", jawabannya ya 'berani aja'. Oleh karena itu, perjalanan singkat ini saya namai dengan solo traveling. 

TRANSPORTASI

Ada beberapa pilihan transportasi untuk sampai di Bandung dari Jepara. Kita bisa memilih naik pesawat, kereta, bus, travel atau bahkan sepeda motor (kalau mau). Pilihan ini bisa diambil berdasarkan budget atau waktu yang kita punya. Bagi saya sendiri, pilihan yang paling nyaman sebenarnya adalah naik bus antar kota. Alasannya, ada bus jurusan Jepara- Bandung yang berangkat dari kecamatan Kembang, di mana saya tinggal, dan ongkosnya pun terbilang paling ekonomis, Rp.180k.Akan tetapi, karena hanya ada satu jadwal keberangkatan (pukul 4/5 sore), saya memutuskan untuk tidak naik bus. Pilihan ini saya ambil dengan pertimbangan, bahwa saya mungkin akan sampai di Bandung sekitar pukul 3 pagi di terminal. Setelah saya googling info dan gambar terminal di Bandung, saya memutuskan untuk tidak naik bus terkait dengan alasan keamanan dan kenyamanan. Tidak semua terminal bus di pulau Jawa ini sama seperti dengan Terminal Bungurasih di Surabaya yang sudah modern. dan nyaman. 

Pilihan saya jatuh pada moda transportasi kereta api. Seperti yang kita tahu, bepergian dengan kereta di Indonesia sangat nyaman sekarang. Saya tidak perlu khawatir apakah saya akan tiba di stasiun tujuan pukul 2, 3 atau 4 pagi. Hanya saja,  biaya yang dikeluarkan memang lebih besar dibandingkan dengan naik bus. dari Kembang, saya memutuskan naik travel ke Semarang dan setelah itu baru saya naik kereta Harini ke Bandung. Harga tiket per tanggal 11 Desember 2021 untuk tiket ekonomi adalah 160k.Di masa pandemi ini, untuk bepergian ke luar kota, kita diharuskan sudah vaksin dua kali dan melakukan rapid test antigen. Saya melakukan test ini di stasiun Tawang; selain harga testnya lebih murah (Rp.45.000), test antigen di stasiun juga lebih praktis. Awalnya saya mengira kalau test ini akan berlangsung lama, namun dari pendaftaran hingga pemberian keterangan hasil test, saya hanya perlu menunggu selama kurang lebih 40 menit. 





 

 

WELCOME TO BANDUNG 

Perjalanan kereta dari Semarang ke Bandung membutuhkan waktu sekitar 7 jam. Di dalam kereta, saya tidak banyak melakukan aktivitas selain browsing dan tidur. Karena ini adalah perjalanan malam, jadi memang tidak banyak hal yang bisa dilihat. Oh iya, pihak KAI memberikan kami bingkisan kecil berupa masker dan satu kemasan tisu basah. 

Pukul 4.30 an pagi, kereta saya tiba di Bandung. Sama seperti pengalaman saya ketika menginjakkan kaki di tanah baru, mata saya pasti akan bergerak liar mengamati segala hal. Perhatian saya tertuju pada penataan Stasiun Bandung yang lumayan apik. Ada banyak eskalator yang dipasang sebagai jalur keluar dan masuk peron. Ini cukup menarik karena saya tidak mendapati hal semacam ini di Semarang, Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta (2014). 

Meski Bandung ada di tanah Jawa, secara budaya, kota ini berbeda dengan kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Orang-orangnya berbicara bahasa Sunda (meski saya punya teman orang Sunda, tetapi ketika berada di tanah Sunda, saya agak kagok) dan ini menjadi daya tarik utama perjalanan saya kali ini. 

AKOMODASI 

Sebagai kota yang menjadi destinasi para traveler, Bandung tentu saja menawarkan berbagai macam akomodasi, mulai dari hotel berbintang sampai penginapan sederhana dengan tarif 50 ribu rupiah per malam. Karena saya berencana untuk tinggal cukup lama (4 harian) di sini, maka saya memutuskan untuk mencari tempat untuk beristirahat yang nyaman. Kategori nyaman bagi saya kali ini adalah bisa dipakai buat bekerja (ngajar), memiliki kamar mandi dalam dan budget-friendly. Setelah mencari-cari di berbagai macam aplikasi menginap seperti Booking.com, Mami Kos, dan Traveloka, akhirnya saya memutuskan untuk menginap di Subwow Hostel di Jalan Riau atau dikenal juga sebagai JLLE Martadinata. Hostel ini merupakan bagian dari Hotel Grand Tebu. Lokasinya terletak di basement hotel Tebu.Rate untuk kamar single per malam adalah 90k, jadi untuk biaya menginap selama 4 malam  saya di sini, saya menghabiskan biaya sebesar kurang lebih 400k, termasuk tax. 

so simple
 

Orang bilang bahwa ada harga,ada rupa. Meski saya tidak memiliki komplain dengan fasilitas yang diberikan oleh Subwow Hostel, dengan harga hanya 90k, pengunjung tidak mendapatkan toiletries macam sabun, sampo, pasta dan sikat gigi. Mereka juga tidak menyediakan handuk. Untungnya karena review pengunjung di Traveloka ada yang menyinggung soal ini, maka saya sudah mempersiapkan diri untuk membawa handuk kecil sendiri. Jangan khawatir, fasilitas standar macam wifi, air hangat, teh -kopi dan dinginnya AC masih ada. 

MUTER-MUTER BANDUNG 

Hari Pertama 

Tidak banyak hal yang saya lakukan di Bandung di hari pertama. Rencananya, setelah sampai Bandung, saya langsung pergi ke  hostel untuk menaruh barang dan kemudian pergi ke alun-alun, sambil menunggu waktu check ini. Saya berniat untuk naik Bandros (Bandung Tour Bus) di sana. Untungnya, si akang penjaga hostel dengan baik sekali memberitahu saya kalau ada kamar yang sudah siap. Jadi, saya tidak perlu menunggu sampai pukul 2 untuk check ini. 

Alun-alun Bandung memang sama seperti yang saya lihat di google dan kanal You Tube Yuna Nuna. Ada rumput sintetis yang digunakan untuk menutupi alun-alun dan digunakan oleh para warga Bandung untuk bersantai. Ada banyak keluarga yang menghabiskan liburan hari minggu di sana. Karena tujuan saya ke sini untuk naik Bandros, saya tidak terlalu menikmati momen di alun-alun. Saya cukup kebingungan mencari halte di mana saya bisa menunggu Bandros ini. Beberapa kali saya bertanya dan muter di sekitar alun-alun. Namun, halte di mana kita harus menunggu Bandros belum ketemu. Ada banyak sekali karangan bunga bela sungkawa di sekitar alun-alun. Belakangan baru saya tahu kalau karangan-karangan bunga ini ditujukan untuk mantan walikota Bandung, Oded M, yang meninggal dunia.




 

Tiket naik Bus wisata ini dibandrol dengan harga 20K.Saya naik dari depan pendopo dan mendapat bus warna ung. Bus ini berputar sekitaran jalan-jalan besar Bandung yang melewati Gedung Sate, Museum Asia Afrika dan beberapa bangunan bersejarah tengah kota Bandung lainnya. Guide yang menemani kami sangat ramah dan beberapa kali melontarkan candaan Bahasa Sunda yang saya tidak pahami. Meski begitu, keramahan orang Sunda cukup membekas di hati. 

Setelah satu jam-an berkeliling, bus akhirnya kembali ke pos awal di alun-alun. Karena saya cukup kelelahan maka, saya memutuskan untuk kembali ke hostel dan beristirahat sampai sore. 

Musim hujan memang bukan waktu yang oke untuk jalan-jalan. Akan tetapi, karena sudah terkanjur ada di Bandung, sangat tidak mungkin karena alasan hujan ini, saya diam saja di penginapan. Sorenya saya pergi ke jalan terkenal di bandung, Braga. Braga ini hampir sama dengan jalan-jalan ynag menjadi ikon di kota-kota besar macam Kota Lama di Semarang, Malioboro di Jogjakarta atau Jalan Tunjungan di Surabaya. Yang lebih menarik dari Braga ini dibandingkan dengan tempat-tempat yang saya sebutkan tadi adalah  ambience Braga ini lebih asik buat jalan, nongkrong dan menikmati waktu bersama teman atau orang terkasih. Karena saya soloist di sini, maka saya memutuskan untuk cari tempat makan yang sepi setelah berputar-putar mengambil foto di Braga. Saya ketemu nasi timbel di restoran yang saya masuki.Nasi timbel ini cukup berkesan bagi saya. Dulu pas di Surabaya, di dekat kantor ada restoran kecil nasi timbel. Meski saya hanya dua  kali mencicipi menu nasi ini, rasanya bertahan cukup lama dalam memori saya sebagai makanan yang enak. 

the legendary Jalan Braga

The delicious Nasi Timbel

 

Hari Kedua 

Hari Kedua a.k.a hari Senin. Saya mulai memastikan kalau urusan pekerjaan dan liburan bisa berjalan dengan baik. Hari ini saya ada kelas dan hari ini ada tempat yang harus saya kunjungi. Jadi, mulai dari pagi hari saya sudah mempersiapkan segalanya supaya urusan pekerjaan dan liburan ini tidak saling tumpang tindih. Setelah menyelesaikan urusan mengajar saya pergi mencicipi makanan Bandung, Mie kocok. Entah apakah tempat yang saya datangi ini terkenal atau tidak, yang penting tempat ini berada di beberapa review blogger yang pernah datang ke Bandung.  Jadi, ada harapan kalau rasanya enak.

Nama warung makannya adalah Mie Kocok SKM. Warungnya tidak terlalu besar dan berada di sebuah rumah di jalan Ahmad Yani (Kalau saya tidak salah). Saya sampai di sana sekitaran pukul 12, jadi waktu yang pas untuk makan siang. Sedikit aneh, warungnya ternyata sepi dan saya satu-satunya pengunjung yang datang pada jam ini. Meski begitu, banyak karyawan yang berada di belakang konter dan dapur jadi saya tidak merasa sendirian. Apakah mie kocok rasanya enak?  jawaban saya untuk pertanyaan ini adalah iya. Tapi jika disuruh mendesripsikan lebih detil, saya akan memilih kata 'seger' untuk mie ini. Karena tidak pakai santan, maka mie kocok bisa dikategorikan makanan yang 'seger', menyegarkan dan menghangatkan perut. 


 

Setelah sekitar 1 jam saya menikmati kesendirian makan mie kocok, saya beralih ke lokasi berikutnya. Yup, setelah bersepeda motor ria dengan abang gojek selama setengah jam, sampai lah saya di salah satu mall ikonik di Bandung, Ciwalk a.k.a Cihampelas walk. Salah satu teman bilang kalau mall ini menarik karena ada banyak tempat makan di sana. Tetapi karena saya datang ke sini sehabis makan, maka saya tidak berencana untuk makan di sini dan hanya melihat-melihat. cekrek-cekrek dan cekrek. Setelah berputar-putar, beli beberapa sabun di Watson, saya pun memutuskan untuk pergi ke Teras Cihampelas yang cukup terkenal itu. Sebuah jalan layang yang terdapat di atas jalan raya, yang digunakan sebagai tempat hiburan dan berdagang bagi warga Bandung.  Namun, karena saya ke sana sekitaran pukul 3 siang dan di hari senin maka, tempat ini tampak sepi. Saking sepinya, saya hanya jalan sebentar dan langsung turun ke bawah. Di sekitaran jalan Cihampelas ini ada berbagai macam toko yang menjual bagu, makanan oleh-oleh dan juga sepatu. Harganya cukup ramah di kantong. 

oleh-oleh.Basrengnya pedes bingit.



ketemu EF di Ciwalk.Nostalgia.

 

Menjelang sore hari, hujan turun dengan derasnya. Saya terjebak di toko oleh-oleh sekitar 1 jam an sebelum pada akhirnya saya balik kembali ke penginapan. 

Hari Ketiga '

Hari ketiga di Bandung menjadi hari terpadat saya. Menerjemah, pergi ke Museum Geologi, mengajar, pergi ke Saung Mang Udjo dan mengajar lagi. Rencana idealnya seperti itu. Namun, kenyataannya agak berbeda. 

Di Google tertulis kalau Museum Geologi buka mulai pukul 10 dan tutup pukul 1 siang. Ini berarti hanya ada 3 jam waktu kunjungan. Oleh karena itu setelah saya menyelesaian pekerjaan, saya bersiap dan langsung pergi ke sana. Sesampai di sana, ternyata sudah ada banyak orang. Salah satu penjaga bilang kalau yang boleh berkunjung hanya warga Bandung saja. Hmm...saya bukan orang bandung dan saya sudah terlanjur ke sini. Setelah saya bertanya, ternyata Mbak penjaganya berbaik hati dengan mengisi data kalau saya dari Bandung.  




Menunggu dan menunggu, itu lah hal yang saya lakukan setelah selesai membayar tiket yang sangat murah (Piro yo...kayak e di bawah 20 ribu). Ada begitu banyak rombongan anak sekolah yang datang berkelompok-kelompok di sana. Karena kuota yang masuk museum dibatasi maka saya harus menunggu sampai giliran nomor saya bisa masuk. 

Sambil menunggu, saya muter-muter sebentar di pelataran Museum yang banyak direkomendasikan oleh web-web pelancong di Google. Saya berselfie ria dan membaca-baca informasi yang tertempel di beberapa batu di sana. Oh iya...tips buat pelancong solo, akan lebih baik untuk bawa tongsis supaya bisa mendapat view foto yang lebih luas. Kalau selfie pakai tangan, hasilnya kurang maksimal. 

Sekitar hampir pukul 12, saya bisa masuk ke dalam museum bersama dengan orang-orang lain dalam kelompok. Kami dibimbing oleh satu guide untuk memasuki satu per satu ruang pameran museum yang tersedia. Ada banyak yang bisa kita lihat dan pelajari di museum ini; seperti mengenal berbagai macam batuan, fenomena alam yang berkaitan dengan bumi seperti gempa, gunung berapi, lapisan tanah, asal muasal batu, fosil dll. 

Karena saya memang menikmati model wisata pengetahuan macam ini, saya tidak merasa keberatan mendengarkan penjelasan guide sampai tur selesai. Tet....sebelum pukul 1 saya harus kembali ke penginapan untuk mengajar.

very proud moment

tiket masuk

harga satu angklung 40K

 

Hmm..tiba-tiba kepala terasa agak pusing. Tapi, karena hari ini saya masih harus ke Saung Mang Udjo maka,pusing sedikit ditahan saja. 

Saung Mang Udjo menjadi highlight dari travelling saya ke Bandung. Di sini, saya bersentuhan langsung dengan budaya Sunda dengan memaikan alat musik angklung. Saung Mang Udjo merupakan tempat edukatif di mana angklung diperkenalkan kepada masy luas dengan berbagai macam kegiatan yang diadakan. 

Saya menonton pertunjukan musik selama satu jam yang dibandrol dengan harga tiket 75K. Ada cukup banyak pengunjung yang datang untuk menonton para adik murid saung ini menampilkan berbagai macam pementasan musik dan tari. Ternyata..angklung itu tak sesederhana yang saya bayangkan. Angklung bisa punya notasi doremifasolasi...sehingga angklung bisa memaikan berbagai macam lagu mulai dari dangdut sampai lagi western modern. 

Pertunjukan angklung ini termasuk bersifat interaktif. Para penonton di ajak ikut ambil bagian dalam pertunjukan dengan menari dan memainkan angklung sehingga kami semua bisa bergembira bersama menikmati angklung. 

Sore hari, sepulang dari Saung Mang Udjo, sakit kepala yang saya rasakan bertambah buruk. Saya mual, kepala berputar dan menderita masuk angin tingkat akut.  Kelas harus dibatalkan demi kesehatan.

Hari Keempat 

Nothing special done di hari keempat. Saya memutuskan untuk belanja saja di Pasar Baru. Sebuah pasar besar yang mirip dengan Tanah Abang di Jakarta atau PTC di Surabaya. Banyak pakaian yang diperjualkan di sini. Jadi, siapkan uang dan kemampuan menawar sampai kita mendapatkan banyak barang bagus. 

Saya hanya beli beberapa pakaian untuk dibawa pulang. harganya berkisar antara 65-150k. Di depan Pasar Baru ini, ada berbagai macam pedang kaki lima. Jadi, kalau sudah lelah mengitari pasar kita bisa langsung jajan. 

 Hari Kelima

Praktis tidak banyak yang saya lakukan di hari kelima. Hanya belanja roti bolen di Amanda yang kebetulan ada di seberang hotel. Selain itu saya juga menikmati nasi padang untuk kedua kalinya di warung kecil samping hotel. dan membeli paket hokben untuk di makan di bus. 


 

FYI, bus Bandung Semarang membandrol harga tiket 180K. Ini jauh lebih murah dibandingkan dengan total biaya yang harus saya keluarkan jika naik kereta Bandung -Semarang lagi dan travel ke Jepara. Selain itu, bus yang saya naiki ini juga berhenti di kecamatan Kembang. Jadi saya tidak perlu repot-repot untuk meminta adik saya menjemput dari Bangsri. 

 

Note: Satu yang tersisa dari perjalanan adalah kenangan. Maka, baik-baiklah kita pada kenangan ini. Semoga dia memperkaya kita dalam mengarungi kehidupan.

Comments

Popular Posts