Arok Dedes ( Resensi Buku)
Roman Politik Seutuhnya
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tebal buku : 561 halaman
Status buku : pinjam dari C20 (library & Collabtive Surabaya)
stanbuku.com |
Novel sejarah Arok Dedes ini butuh satu setengah bulan untuk diselesaikan. Entah karena saya malas atau karena terlalu banyak pengalih perhatian,
novel ini butuh waktu yang cukup lama untuk saya selesaikan. Pun karena lamanya
juga, saya harus membayar denda keterlambatan mengembalikan novel meski
jumlahnya tak terlalu banyak, hanya 6000 rupiah. Sebagai penebus ‘dosa’
kelamaan baca, maka di sinilah saya mengetik sebuah review yang semoga bisa
menarik lebih banyak orang untuk membaca karya sastrawan besar Indonesia ini.
Cerita mengambil ‘setting’ tahun
1200-an di mana kerajaan Kediri berkuasa di tanah Jawa. Salah satu kerajaan
kecil yang masuk dalam kekuasaan Kediri yakni Tumapel sedang dalam keadaan yang
kurang baik karena dipimpin oleh sang Akuwu (penguasa) bernama Tunggul Ametung
(gelar). Dalam novel Arok Dedes ini Tunggul Ametung digambarkan sebagai
diktator yang suka memperbudak rakyatnya (bekerja di penambangan emas-sumber
penghasilan terbesar Tumapel) , merampas harta penduduk dan bahkan para gadis
dari penduduk. Waktu itu para penduduk banyak yang memeluk agama Hindu (yang
dibagi menjadi 2- syiwa dan Wisnu) dan ada juga yang memeluk budha dan
mengikuti ajaran nenek moyang. Salah
satu korban kegananasan Tunggul Ametung adalah Dedes, seorang putri dari
seorang Mpu Parwa yang merupakan golongan kaum brahmana waktu itu yang diculik
untuk dijadikan permaisuri yang kesekian di Tumapel. Dalam keterpaksaan, Dedes
hidup mendampingi Tunggul Ametung hingga pada suatu masa muncullah Arok,
seorang dari golongan Sudra yang dikenal bersikap Satria dan berwawasan
Brahmana. Arok memimpin perlawanan rakyat menggulingkan kekuasaan Tunggul
Ametung dengan politik ala Jawa yang kemungkinan masih dipakai hingga saat ini.
Arok adalah kaum sudra yang
bergerak menaikkan derajatnya menjadi kaum brahmana dengan belajar dari satu
guru ke guru lain hingga dia menjadi murid dari brahmana terkenal Dyang Lohgawe
(gelar). Dia dikenal sebagai pemuda yang berani karena sedari muda sudah
terbiasa berkelahi dan menyerang para pasukan Tumapel yang membawa harta
rampasan dari penduduk ( rujuk pada Robin Hood di Inggris).Kemampuan Arok ini
membawanya ke pentas politik Tumapel sebagai pemimpin pasukan khusus yang
melindungi Tunggul Ametung dan perkuwuan (kerajaan kecil) dari serangan
pemberontak yang sebenarnya dia ketuai. Di sini kita bisa melihat betapa
cerdiknya Arok berpolitik taktis memimpin gerakan pemberontakan tapi pada saat
yang bersamaan terlihat setia melindungi Tunggul Ametung.
Novel setebal 561 halaman ini
banyak memberikan pengetahuan mengenai apa yang terjadi masa itu (1200-an) di
mana dalam tatanan masyarakat Jawa, penduduk dibagi menjadi 3 tingkatan yakni
Sudra (kamu pekerja- tani, tukang, nelayan dll), satria (penguasa) dan brahmana
(golongan terpelajar dan agamis yang menempati puncak tertinggi dalam kasta di
masyarakat Hindu waktu itu). Keyakinan Hindu juga terbagi menjadi Syiwa dan
Wisnu yang dalam beberapa hal menjadi gap dalam kehidupan sosial.
Seperti dalam novel-novelnya Pram sangat berhasil untuk mendeskripsikan dan
membangun suasana masa lalu sehingga pembaca benar-benar diajak untuk berada di
masa itu dan merasakan menjadi bagian dari masyarakat abad ke 13 di Jawa.
Intrik politik, hubungan manusia dalam kehidupan sosial hingga ekonomi tersaji
cukup jelas.
Satu hal menarik yang diutarakan
dalam novel ini adalah adanya perbudakan dalam sistem masyarakat Jawa waktu
itu. Orang-orang yang masuk dalam kategori budak biasanya adalah orang-orang
terpinggirkan (orang miskin yang tidak mampu membayar pajak, kriminal,
pelanggar peraturan negara/kerajaan) yang dipekerjakan di sebuah tambang emas
tanpa bayaran dan bisa dibilang tanpa pakaian dan tempat tinggal yang layak.
Mereka dipaksa bekerja keras di bawah pengawasan jajaro (pasukan keamanaan
yang dipotong lidahnya sehingga tidak bisa berbicara- Penambangan emas Tumapel
merupakan proyek rahasia Tunggul Ametung yang tidak diketahui oleh Kediri).
Berbeda dari beberapa novel Pram
sebelumnya yang saya baca – tetralogi Pulau Buru (yang banyak memberikan cerita
romantis antara Minke dan istri-istrinya)- Arok Dedes lebih berfokus pada intrik
politik Arok (yang dilandasi oleh perintah Dyang Lohgawe) yang menggunakan
Dedes sebagai pelaku penting dalam penggulingan Tunggul Ametung. Meski pada
akhirnya, Dedes menikahi Arok, cerita roman tidak mendapati porsi banyak dalam
novel ini. Hal ini cukup baru bagi saya karena sebelum membaca Arok Dedes, saya
sering mendengar bahwa keduanya adalah pasangan kekasih yang sangat populer
dalam cerita kuno Jawa. Keterlibatan keduanya dalam menggulingkan kekuasaan
Tunggul Ametung dengan keris Empu Gandring menjadi sebuah cerita yang lama-lama
terasa seperti dongeng karena waktu itu saya tidak memperoleh bacaan yang
cukup. Di samping itu, saya juga tidak terlalu tertarik dengan bacaan sejarah
kerajaan-kerajaan Jawa yang kebanyakan berupa buku formal. Empu Gandring dalam
novel ini merupakan seorang pandai besi pembuat senjata pemasok seluruh senjata
yang digunakan pasukan Tumapel. Dia punya pabrik dan juga karyawan!
Apakah novel ini patut untuk
dibaca? Pasti. Sebagai salah satu rujukan sejarah tentang bangsa. Salah satu.
Itu berarti kita masih perlu untuk membaca banyak sekali buku untuk memperkaya
pengetahuan kita akan diri kita sebagai bangsa Indonesia.
Salam literasi.
Comments
Post a Comment