Mari Berbicara Tentang Cerita Senja
Ada rasa romantisme setiap kata senja itu diucap. Entah itu berupa keinginan untuk berjumpa, kenangan yang enggan lepas dari ingatan atau bahkan sebuah perjumpaan dengan seseorang yang membuat hati kita berdebar-debar. Waktu matahari berpisah dengan hari adalah metafora yang membawa perlambangan dengan bebagai macam warna teduh, perpaduan antara jingga, merah yang tak terlalu merah dan pendaran cahaya surya yang meredup menyisakan rasa yang manusia hargai sebagai sebuah keintiman perasaan.
cover novel |
Penggambaran ini adalah ekspektasi yang saya harapkan ketika pembaca
nantinya akan menyelesaikan sebuah novel berjudul SELAMAT TINGGAL PAGI,
SELAMAT DATANG SENJA yang diterbitkan oleh Laksana (imprint Diva Press,
Jogja) bulan Juli 2018. Runtutan cerita anak manusia yang menjalin sebuah kisah
antara melepaskan kenangan pagi dan
merangkul kehangatan senja. Meski jika boleh jujur, harapan ini tidak ada
ketika kali pertama saya membuat cerita ini.
Akhir tahun 2016, penerbit Twigora (sebuah penerbit baru yang didirikan
oleh Christian Simamora) mengadakan lomba penulisan novel bertema Bad Boy.
Meski tidak terlalu percaya diri (karena sering kalah kalau ikut lomba) saya
akhirnya menantang diri saya untuk ikut kompetisi itu. Persiapan pun mulai saya
lakukan dalam kepala. Hal-hal yang berkaitan dengan karakter, setting, plot dll
sudah mulai disusun – sekali lagi dalam kepala- untuk mencari gambaran cerita
apa yang ingin saya angkat. Ide yang ada di kepala kemudian saya ceritakan pada
teman saya dan dari perbincangan panjang kemudian sebuah jalan cerita mulai muncul.
Saya mendapatkan karakter yang belum pernah saya temukan dalam novel-novel saya
sebelumnya. Saya bertemu Bayu (nama karakter utama di novel) yang banyak merana
karena mengalami sakit hati ditinggal istrinya dengan mantan kekasihnya. Di
pikiran saya waktu itu, Bayu yang frustasi melampiaskan kebuntuan pikirannya
dan rasa sakit hatinya pada wanita dan minuman keras. Dia –secara sekilas- saya
paksa untuk memiliki sifat Bad Boy yang diminta dalam persyaratan lomba novel.
Proses menulis pun berlangsung dalam beberapa bulan setelahnya. Dalam
proses ini saya ternyata menemukan sesuatu dari diri Bayu yang pada awal
pembuatan cerita tidak tampak. Dia bukan Bad Boy seperti yang diminta
dalam persyaratan lomba tetapi lebih kepada seorang lelaki yang sedang berusaha
menyembuhkan diri dari rasa sakit hati karena kehilangan seseorang. Dia
memiliki kisah yang tragis yang membuat saya bersimpati penuh pada cara dia
menghadapi turmoil dalam dirinya yang belum sepenuhnya mampu untuk
berdamai pada yang sudah lalu dan kembali realistis dengan apa yang ada di
hadapannya.
Saya sadar sepenuhnya bahwa cerita saya sangat tidak memenuhi kriteria
lomba Twigora. Saat itu saya sudah bersiap jika naskah saya ditolak. Bayu
membawa saya menuliskan kisah hidupnya dan bagaimana cara dia untuk
menyembuhkan rasa sakit dan pada akhirnya bisa menerima bahwa wanita yang dulu
jadi istrinya memang memilih pria lain dan itu kenyataan yang tidak bisa dia
paksa rubah.
Sekitar bulan Februari, pengumuman untuk 10 naskah yang masuk seleksi
diumumkan di twitter dan tanpa terkejut cerita Bayu tidak lolos. Walaupun saya
sudah mempersiapkan diri dari awal, toh tetap saya merasa down sedikit
waktu itu. Satu hal yang tidak saya sukai dari lomba adalah saya berkompetisi
dengan orang lain dan ini sering membuat diri saya membanding-bandingkan dengan
orang lain juga. Akibatnya saya akan menjadi judgemental pada diri saya
dan akhirnya penyakit hati paling akut pun datang – sakit hati, komplain dan
yang paling parah ber-negative thinking sama Tuhan. Maka setelah
beberapa hari saya memutuskan untuk istirahat sejenak tidak langsung
mengirimkan naskah ke penerbit lain. Saya ingin rehat, saya ingin menikmati
kebebasan pikiran dan hati tanpa memikirkan “anak-anak saya” yang sudah
menumpuk banyak di laptop menunggu giliran untuk dijadikan buku oleh penerbit
(bukan oleh saya sendiri). Saya akan menikmati kekosongan. Toh saya masih punya
rasa cinta yang lain yakni pada profesi saya sebagai pengajar Bahasa Inggris.
Begitulah saya mengatur kewarasan saya selama ini antara menulis dan Bahasa
Inggris.
Mungkin sekitar bulan April menjelang ultah, saya memutuskan untuk
memberikan kado hadiah pada diri saya sendiri dengan menerbitkan naskah cerita
Bayu sendiri melalui sebuah penerbit indie Nulisbuku.com. Ada 2 teman saya yang tertarik untuk membeli
buku itu jadi saya memutuskan untuk menjadikannya buku sebanyak 3 eksemplar. Di
lain pihak, waktu itu, Diva Press membuka pengajuan proposal naskah untuk
kategori novel romance. Maka tanpa pikir panjang, saya langsung mengirim
naskah dalam bentuk soft file ke Diva dan..... selang sekitar 1 bulan ½
, cerita Bayu dinyatakan di terima. Surat kontrak pun datang pada bulan
September dan jujur...saya sangat senang sekali. Tuhan mengabulkan impian saya
untuk menjadi seorang penulis penerbit lagi setelah 4 tahun berlalu (novel
terakhir saya berjudul Paradis terbit di Kinomedia tahun 2014 dan bernasib
kurang baik). Bukan penulis independen.
Surat kontrak sudah saya dapatkan pada bulan September 2017. Pihak redaksi
bilang bahwa kemungkinan novel saya akan dibukukan tahun 2018 tapi bulan
tepatnya belum diberitahu karena alasan menunggu list daftar novel yang akan
diterbitkan pada tahun 2018. Saya menata hati untuk tidak terlalu mengharapkan
sesuatu ynag berlebihan. Toh kepastian sudah didapatkan (terbit), surat kontrak
sudah saya terima dan tanda tangani dan uang muka royalti sudah saya dapatkan.
Maka sewajarnya saya sudah punya jaminan untuk menjadi penulis.
Bukan menunggu namanya jika tidak meresahkan. Maka selama dari Januari
tahun 2018 sampai April saya begitu kepikiran dan was-was jika cerita Bayu ini
tidak jadi diterbitkan. Dan kemungkinan-kemungkinan lain yang mulai membuat
pikiran saya dipenuhi dengan hal-hal buruk.
Pihak Diva tidak memberitahu saya tentang perkembangan novel seperti
kapan tepatnya novel terbit. Dengan melihat kondisi jiwa yang tidak stabil,
saya putuskan untuk mengirim email menanyakan kepastian terbit. Jawaban saya
dapatkan dengan bulan Juli sebagai bulan terbit.
Selanjutnya sampai bulan Juli, pihak penerbit belum juga menghubungi saya. Hal
yang lumayan ganjil karena mengingat dulu saya menerbitkan novel pertama, pihak
penerbit selalu mengontak saya melaporkan perkembangan naskah seperti bagaimana
lay-out halamannya, desain cover ucapan terima kasih dan minta foto untuk
biodata. Di Diva, tidak ada komunikasi seperti itu. Praktis saya ragu.
Hari Jumat pagi pertengahan Juli, pintu kamar saya diketuk oleh Ibu Kos.
Beliau mengantarkan satu paket yang membuat mata saya langsung melek. Lima
eksemplar novel Senja dikirim dalam bentuk buku dan tanpa penjelasan panjang
dan lebar saya langsung berteriak senang. Seorang teman kos saya yang membantu
dalam proses pencarian ide cerita
menjadi orang pertama yang menjadi tempat luapan kegembiraan. Saya
senang sekali.
Bulan Juli ini saya resmi menjadi penulis novel lagi!
Melihat cover senja, saya tidak keberatan. Mendapati judul Senja
dirubah menjadi Selamat Tinggal Pagi, Selamat Datang Senja saya juga
tidak keberatan. Melihat tidak ada halaman untuk ucapan terima kasih, saya juga
tidak keberatan. Jika penantian itu sudah terlalu lama dan membuat hati begitu
gundah gulana, tak apalah memaklumi hal-hal ini. Toh pada akhirnya, tujuan kita
menulis adalah untuk bercerita bukan untuk dikenang sebagai pencerita.
Semoga para pembaca merasa terhibur dengan kisah dalam cerita yang saya
tulis dengan segenap perasaan dan pikiran yang selalu gelisah ini.
Comments
Post a Comment