Posesif (Movie Review)
Film Remaja?
Posesif punya nama yang moncer di Festival Film Indonesia. Tiga penghargaan berhasil diraih untuk kategori Pemeran Wanita Terbaik (Putri Marino), Sutradara Terbaik (Edwin) dan Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Yayu Unru). Padahal film produksi Palari Films ini baru muncul di bioskop bulan November, bersamaan dengan perhelatan FFI itu sendiri. Dari salah satu blog movie critic yang saya baca, ada sedikit pesimisme tentang film Posesif yang masuk nominasi sedangkan audio visualnya belum masuk layar berbagai macam bioskop di tanah air. Pertanyaannya, apakah film Posesif sebaik itu?
Bagus dan tidak adalah soal selera. Kita bisa bilang sebuah film itu bagus, tapi orang lain juga bisa beropini bahwa film itu jelek. Dan soal selera ini juga yang membuat saya memiliki pendapat yang sedikit berbeda dari pada kebanyakan penikmat film yang memuji kebagusan film Posesif.
Bermuara dari sebuah ide tentang hubungan Posesif, film ini menggunakan karakter para remaja yang terlibat dalam hubungan asmara rumit di mana si pihak lelaki (Adipati Dolken) cenderung suka bertindak abusif dan posesif terhadap Lala (Putri Marino) yang masih bingung menatap masa depan. Dia merasa selama ini apa yang dia lakukan bukanlah karena kemauannya sendiri tetapi lebih karena tuntutan orang tua. Ibu Lala (dulu Atlet Loncat Indah) meninggal kemudian ayahnya menghendaki Lala untuk meneruskan legasi ibunya. Meski Lala merasa ada yang tidak baik antara hubungan dirinya dan pacar, dia tetap bertahan dalam hubungan itu.
Secara keseluruhan, film ini lumayan menarik karena mengangkat isu serius tetapi terasa sangat dekat dengan publik. Posesif yang berlanjut menjadi abusif sering kita temui dalam kehidupan kita. Para aktor juga mampu membawakan lakon mereka dengan apik. ketidaktahuan penonton terhadap kualitas akting pemeran utama wanita (Putri Marino) membuat kita tidak bias dalam menilai aktingnya. Sebagai hasil, kita justru bisa menyelami karakter Lala dengan lebih objektif.
Terkait dengan selera yang saya sudah sebut di atas, saya bisa dibilang pada posisi tengah dalam menilai film ini. Saya tidak mengatakan film jelek tetapi juga tidak menghujaninya dengan berbagai macam pujian. Salah satu faktornya adalah pemilihan setting SMA, kehidupan remaja sebagai penyajian visual film. Mungkin tujuan para pembuat film adalah menyajikan cerita remaja yang berbeda dari kebanyakan, namun tetap menurut saya karakter anak-anak SMA kurang merepresentasikan cerita posesif yang berujung abusif. Kasus ini justru sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga di mana salah satu pihak sering merasa memiliki pihak yang lain karena sudah diikat dalam tali perkawinan sehingga tindakan-tindakan penganiyaan terjadi. Pacaran, sekali lagi ini menurut saya, adalah tahap hubungan di mana, kedua belah pihak masih dalam tahap jajakan dan impresi yang mana sifat-sifat buruk jarang terekpos.
Hal lain yang membuat saya memberikan penilaian kurang adalah berbagai macam adegan yang dibuat juga terlalu dewasa untuk anak SMA. Sebagai perbandingan, Dear Nathan lebih bisa disebut film remaja karena ada batasan yang diberikan untuk menyamai umur dan perbuatan atau tindakan remaja. Sedang Film Posesif menjadikan adegan itu sangat normal untuk Lala yang baru merasakan cinta pertama.
Comments
Post a Comment