Apakah Kita Perlu Kebun Binatang?


(Sebuah Refleksi)

Kata orang, mata adalah jendela hati. Kalimat populer ini sudah dikenal terbukti khususnya dalam hal mengungkap kebenaran perasaan seseorang. Cinta, salah satu contohnya, bisa dibuktikan dengan tatapan mata. Jika dua orang saling memiliki rasa ketertarikan maka bisa dipastikan sorot mata mereka berbinar. Meski komparasi yang akan saya berikan tidak ada hubungannya dengan cinta, mata tetaplah menjadi salah satu bentuk dari komunikasi yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dan ini terlihat dari apa yang dikomunikasikan oleh beberapa binatang di Kebun Binatang Surabaya. Sebuah pertanyaan menggelitik kemudian muncul. Apakah Kita Perlu Kebun Binatang?

Tahun 2002 adalah kali pertama saya mengunjungi kota Pahlawan, Surabaya. Waktu itu setelah kelulusan sekolah, entah karena alasan apa, kelas kami memilih untuk mengunjungi Jawa Timur. Butuh sekitar 7 jam untuk sampai di Surabaya menggunakan bus dari Jepara. Saya yang masih kecil merasa bahwa Kebun Binatang Surabaya adalah sebuah tempat yang besar dengan koleksi berbagai binatang yang tidak pernah saya lihat sebelumnya.

Seorang pengunjung yang berusaha berteman dengan seekor rusa.
 Tentu saja pengalaman masa remaja saya ini tidak terlihat lagi ketika 15 tahun kemudian saya mengunjungi tempat yang sama lagi. KBS terasa lebih kecil dan tidak semegah seperti yang mata SMP saya lihat dulu. Binatang-binatangnya pun tidak terlalu banyak dan ‘keren’ seperti yang pernah saya saksikan dulu. Yang saya dapatkan adalah sebuah pengalaman yang cukup membuat hati saya trenyuh. Kondisi berbagai macam binatang yang cukup memprihatinkan membuat saya menanyakan fungsi dari keberadaan kebun binatang itu sendiri.

sepasang mata seekor rusa

Saya dan teman saya berkeliling kebun binatang ini dengan berjalan kaki santai. Kami melihat berbagai macam koleksi binatang sambil mengambil beberapa foto. Burung adalah koleksi yang paling banyak terlihat di sini. Ada kakak tua, pelican, dan masih banyak lagi. Sejauh ini hampir tidak ada yang aneh. Mereka terlihat bahagia berlompatan dari satu pagar ke pagar dan batang ke batang. Setelah mengelilingi area aves kami melanjutkan perjalanan menuju area lain. Di sini mulai terlihat kondisi beberapa binatang yang cukup memprihatinkan. Ada seekor beruang madu yang tinggal dalam kandang kecil duduk sendirian di pojok kandang sambil menatap keluar. Karena panas dia memilih tempat dipojokan yang cukup basah dengan air. Teman saya memotret wajahnya dan matanya terlihat sayu seperti ingin mengatakan sesuatu. 
a lonely captivated kid bear
Kejadian serupa juga terlihat di binatang-binatang lain seperti kuda nil (ini yang paling menyedihkan-kolamnya kecil dan hanya cukup untuk dibuat berendam), gajah yang seperti terpaksa berjalan menggendong manusia di atas punggungnya, seekor kera yang duduk sendirian di atas sarangnya karena tidak memiliki teman bermain dan masih banyak lagi. Binatang-binatang ini memang tidak bisa berkomunikasi dengan manusia tetapi hanya dengan melihat matanya kita akan tahu bahwa mereka tidak dalam kondisi yang baik.


alone


Binatang ternak seperti rusa, banteng/sapi adalah yang paling bisa menyesuaikan dengan kondisi di Kebun Binatang ini. Jumlah mereka lebih banyak dan mereka juga lebih riang dibanding beberapa binatang yang saya sebutkan tadi. Meski ada satu dua di antara mereka yang terlihat cukup kurus.
Selain kondisi tempat tinggal dalam kebun binatang yang kurang layak, suasana sekitar kebun binatang pun lebih tidak layak lagi. Sepanjang saya berjalan mengitari kebun binatang ini, suara musik dangdut mengalun keras sekali dari luar yang saya yakin cukup membuat binatang-binatang ini stress. Apakah ini salah musik dangdut? Jelas bukan. Sebuah resiko menempatkan kebun binatang di tengah-tengah kota dengan himpitan perumahan penduduk.  
weeping? the look can tell everything


ironi

Melihat kondisi para binatang di atas, sebuah pertanyaan cukup menggelitik mengenai eksistensi kebun biantang dalam peradaban modern kemudian muncul. Menilik sejarah, kebun binatang pada awalnya dibuat sebagai tempat hiburan bukan tempat edukasi seperti yang kita tahu sekarang. Manusia membuat tempat untuk mengurung hewan-hewan ini dan dijadikan sebagai tempat untuk membuat mereka senang.  Secara tidak langsung, fungsi ini hampir sama dengan circus yang mengeksploitasi binatang. Bedanya, hewan di kebun binatang tidak dipekerjakan untuk melakukan atraksi, kecuali Gajah yang dipaksa untuk memberi tunggangan. Fungsi ini kemudian berkembang menjadi sarana edukasi khususnya bagi masyarakat perkotaan yang ingin mengenal satwa tetapi tidak memiliki akses.Dengan mendatangi kebun binatang, mereka jadi tahu dan melihat jelas binatang-binatang yang hanya bisa dilihat di layar kaca seperti gajah, beruang, singa, harimau dan lain-lain.

Fungsi yang berubah ini menjadi sebuah tantangan bagi pengelola kebun binatang itu sendiri. Ada yang mencoba untuk memberikan pengalaman senyata mungkin kepada pengunjung dengan memperbaiki kondisi binatang dan tempat tinggalnya (sebuah gagasan yang diadopsi oleh taman safari) namun ada juga yang jalan di tempat tidak melakukan apa-apa.
happiest creature so far

Memang, istilah peri kebinatangan tidak kita kenal ada dalam daftar Hak Asasi yang patut kita perjuangkan. Sebagai manusia kita pun tidak pernah merasa bersalah memotong /memakan ayam, “menyeplek” nyamuk dan “memites” kecoa.Ada yang namanya kodrat binatang yang lebih rendah dari manusia yang membuat kita terbebas dari rasa bersalah itu. Hanya saja, binatang di dalam Kebun Binatang adalah binatang pilihan yang sengaja kita pilih kemudian tangkap dan kurung untuk kita jadikan tontonan. Tidakkah kita berbuat baik sedikit kepada mereka dengan memperlakukan mereka dengan baik? Binatang-binatang ini memiliki habitat berbagai macam yang skalanya lebih luas dibanding penjara kecil kebun binatang. Kuda Nil contohnya adalah jenis binatang yang hidup di hutan luas dan sungai panjang mengalir yang setiap saat bisa menjadi tempat mandinya. Memasukkannya dalam kandang kecil berukuran 3 x 5 meter adalah sama saja dengan memasukkan diri kita dalam kamar kos kecil. Kita masih bisa keluar untuk mencari makan, hiburan dan bergaul dengan teman-teman. Satu keunggulan yang tidak didapat oleh si Kuda Nil.
the lonely hippo



Apakah kita memang perlu Kebun Binatang? Pertanyaan ini seyogyanya perlu kita pikirkan kembali. Jika tempat “hiburan manusia” ini tidak bisa berbenah diri, mungkin ide untuk menutup tempat ini dan mengembalikan binatang ke habitat aslinya terdengar menjadi solusi terbaik. 

photos were captured by Desy K

Comments

  1. Keep writing miss. Always ready to be your personal photographer 😆

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts