Galih & Ratna Review (Narasi Seorang Penonton)

Maret ini adalah bulan ketiga di mana saya menggalau karena menunggu tayangnya film besutan Lucky Kuswandi, Galih & Ratna. Kali pertama trailer film ini saya lihat pada bulan Desember 2016 di mana gak banyak orang yang tahu tentang film ini. Banyak unsur dalam trailer yang membuat saya langsung jatuh hati dengan film remake tahun akhir 70-an ini. Diantaranya, tatapan mata si aktor yang membuat saya langsung jatuh hati dan kesyahduan cinematografi yang secara lembut menuturkan emosi. Setelah mencari-cari info saya kemudian tahu bahwa sutradara berbakat Lucky Kuswandi- Selamat Pagi, Malam, ada dibalik layar dan aktor pendatang baru bernama Refal Hady dan Sheryl Sheinafia yang menjadi lead cast untuk film. Kepo sana-sini akhirnya saya tahu sedikit siapa si Refal dan Sheryl.
poster film Galih & Ratna 
Bulan bergulir dan promosi Galih & Ratna pun semakin gencar; dari poster-poster yang tertempel di McD, iklan di setiap lini media sosial di internet, promo-promo di TV dan billboard-billboard di jalan raya. Alhasil banyak orang yang mulai tahu dan secara langsung ketertarikan saya yang sangat berlebihan dengan film Galih & Ratna ini juga menjadi sarana iklan bagi teman-teman kantor saya untuk tahu film Galih & Ratna.
Tanggal 27 Februari 2017, hari pertama gala premier film ini diadakan di Jakarta. Secara beruntung saya mendapatkan undangan kesempatan untuk nonton dari JAGADIRI. Namun karena lokasi nontonnya di XXI Senayan City jadi saya kasih kesempatan itu pada teman saya yang tinggal di Jakarta. Karena terlalu malam akhirnya teman saya memutuskan untuk pulang dan tidak jadi ikut nonton premier film tapi dia berhasil mendapatkan foto-foto para pemain dan mengirimkan ke saya. Hasilnya, saya terus mantengin Instagram untuk tahu pendapat penonton tentang film ini baik dari penonton umum, pihak Galih & Ratna maupun kritikus film sampai film itu tayang tanggal 10 Maret.
Ada baik dan buruknya pengkepoan saya ini. Yang pertama saya jadi tahu tentang para blogger-blogger super ‘jujur’ dan ‘cerdas’ pengkritik film dengan bahasa canggih perfilman mereka dan dari pendapat mereka, Galih & Ratna termasuk film yang mendapat kritik baik-. meski memang ada satu dua kritikus yang tidak suka film ini. Yang kedua para penonton yang menonton film ini di bioskop. Kebanyakan- mungkin sekitar 80 persen an bilang bahwa ini adalah film remaja terbaik yang pernah mereka tonton yang bisa bikin baper, nostalgia, sweet dan komentar-komentar indah lainnya. Terakhir, saya mendengarkan kesan teman saya yang sudah duluan nonton film ini di mana dia bilang bahwa film ini standard aja tetapi bagi orang seperti saya yang sudah kesengsem sama Refal Hady (alias Galih) mungkin bisa jadi baper akut.
Well...sudahlah. Toh saya juga bakal nonton film ini sendiri tanggal 12 Maret dengan teman kantor saya. Well lagi, rencana kami sedikit meleset karena kesibukan teman saya akhirnya kita menonton di CGV Marvell City Surabaya satu hari lebih awal.
Dan ini lah review panjang saya tentang film Galih & Ratna yang berhasil membuat kehidupan internet saya kacau selama 3 bulan terakhir.
Saya tidak akan memberikan sinopsis karena film re-make ya punya outline yang sama dengan film pendahulunya. Benang merahnya adalah kisah percintaan dua sejoli (Galih, Ratna) yang menemui hambatan dan terpaksa harus berpisah.
Pertanyaan yang saya ajukan kepada diri sendiri adalah Apakah saya kecewa dengan film Galih dan Ratna? Kenapa setelah keluar dari bioskop saya tidak mengalami emosi yang saya harapkan ketika saya galau selama 3 bulan terakhir? Apakah Lucky Kuswandi mengecewakan saya karena filmnya tidak bagus?
Daya Magis terbesar film ini - Tatapan Mata Refal Hady

Sebelum menulis blog ini saya berpikir semalaman dan paginya saya mendapat jawaban setelah mengalami proses analisa selama beberapa jam. Hasilnya, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan saya adalah TIDAK.
Saya tidak kecewa dengan Galih & Ratna. Saya menyukai film ini dengan kadar yang normal.
Ngomongin hal bagus dalam film ini, kredit pertama bisa kita berikan kepada sutradaranya- Lucky Kuswandi yang memiliki sudut pandang unik dalam menyampaikan cerita. Dia suka yang subtle, tidak terlalu hiperbolis, sederhana tapi menyentuh dan jujur terhadap setting plus perpaduan menarik antara cerita dan musik. Setiap soundtrack yang keluar –seperti yang para blogger film bilang- sesuai dengan scene. Kadarnya begitu pas. Saya sangat setuju dengan hal ini. Settingnya juga jelas- kota Bogor- dengan segala tata ruang kotanya yang tidak teratur (Hal yang sama saya lihat ketika menonton Selamat Pagi, Malam) meski saya tahu juga bahwa semua scene di stasiun di ambil di Stasiun Tanjung Priuk- Jakarta. Gak ada yang salah dengan directing Lucky kecuali plot cerita yang menurut saya punya potensi untuk dikembangkan menjadi lebih baik.
Kelogisan cerita sudah sangat oke, namun ada beberapa hal yang kurang dieksplorasi dengan baik. Galih &  Ratna yang dalam 15 menit pertama langsung jadian setelah bermain mata dan dengerin walkman kemudian dilanjutkan dengan ciuman ( menurut saya ini terlalu cepat). Sebagai penonton saya belum puas mendapatkan chemistry keduanya, saya butuh waktu untuk menyiapkan diri sebelum adegan confession itu ada. Interaksi Galih & Ratna belum cukup siap untuk dibuat menjadi jadian. Jika dibandingkan dengan versi 70-annya, saya merasa versi dulu lebih lama membuat interaksi sebelum jadian itu terjadi. Dan kissing-nya pun lebih sweet. Kenapa? Karena Galih tidak mencium Ratna melainkan hanya menempelkan jarinya di bibir cewek itu (bayangkan jika di slow motion-hmmm..) Greget kan jadinya!!!! Selain itu ada juga beberapa scene yang menurut saya jika dibuat lebih dramatis hasilnya akan menjadi sangat keren banget. Seperti scene Galih yang mampir ke toko kaset bapaknya yang dijual oleh ibunya. Sedih sih tapi gak sampai bikin saya menumpahkan air mata. Padahal scene serupa yang saya lihat di film Cek Toko Sebelah berhasil membuat saya menitikkan banyak air mata.
Bagaimana dengan akting para aktor dan aktrisnya. Saya tidak ada komplain. Untuk kadar film remaja cukup kok. Refal yang sepertinya dipilih sama Lucky karena punya tatapan mata itu- daya magis terbesar dalam film ini- dan Sheryl yang cukup mumpuni untuk menggambarkan Ratna yang imut, cukup berani, dan kurang punya prinsip-khas kepribadian anak remaja. Para karakter pendukung yang lain tampil cukup gemilang untuk membuat film ini jadi hidup. Ratna dan Galih adalah dua orang dengan kepribadian yang kurang ramai. Mereka adalah tipe orang yang suka ngobrol. Tanpa ada karakter-karakter pendukung ini, bisa dipastikan film ini bisa menjadi dialog berkepanjangan antara Galih dan Ratna. Ngebayangin hal kayak gitu tidak buruk juga sih secara orang yang lagi kasmaran biasanya cukup berdua saja dan yang lain cuman nge-kos. Meski , kalau saya membandingkan dengan seniornya AADC, interaksi antara Rangga dan Cinta lebih menarik untuk diikuti- ya itu karena faktor kepribadian saja kok. Senengkan lihat pasangan idola kita bertengkar kemudian balik lagi cinta-cintaan?
Soal cinematografi saya tidak bisa berkomentar karena saya tidak punya kompetensi untuk mengkritik cara Lucky mengambil gambar. Pokoknya dan intinya saya merasa nyaman dengan penyajian visual film – tanpa mengobrolkan lebih jauh beberapa product placement yang kadang suka mampir di sana-sini. Entahlah,saya merasa film kita sering dijejali dengan iklan-iklan tidak langsung seperti ini yang jujur membuat penonton agak kurang nyaman.
Apalagi ya? Kayaknya sudah panjang banget nih.
Oh..soal kaset yang sangat retro banget. Well well... ide ini sangat brilian. Kalau mengutip kata editor Bentang Pustaka,  cerita yang menarik bisa dilihat dari keunikan cerita dan juga cara penutur cerita melihat sebuah cerita dari sudut pandang yang berbeda. Nah..di sini, saya mengakui ide brilian memasukkan kaset-khususnya frasa mixtape-sebagai elemen utama dalam film ini yang sangat natural untuk menghubungkan antara past dan present. Meski saya akui sebagai generasi kaset saya baru ini ngeh yang namanya mixtape. (ini soal latar belakang saja di mana orang desa tahun 90-an gak paham tentang hiruk pikuk budaya perkotaan).
Kaset inilah yang menjadi penghubung antara generasi Gita Cinta Dari SMA dan Galih & Ratna tahun 2017. Dan perlu diingat kita juga bahwa elemen musik di film ini merupakan tema sentral. Galih adalah penikmat musik sedang Ratna adalah ‘musisi’. Keduanya memiliki ketertarikan yang sama. Namun karena masalah finansial, Ratna berani untuk mengambil sikap mengganti jurusan kuliah dari business ke musik dan Galih yang tetap melanjutkan mengambil jurusan IT di Malang.
Dalam satu wawancara saya ingat bahwa Lucky bilang bahwa dia ingin anak-anak muda yang menonton film ini bisa mengambil sikap seperti Ratna mengikuti kata hatinya untuk melakukan hal dia bisa. Bukan menjadi Galih yang kalah dengan keinginan orang tua. Dalam kehidupan nyata, saya yakin banyak orang yang akan menjadi Galih ketimbang Ratna apalagi jika faktor uang menjadi sangat krusial. Bukannya saya ingin curhat tetapi bagi orang yang kehidupan masa remajanya terbelit dengan kekurangan uang, mengambil pilihan yang logis adalah jalan keluar terbaik yang bisa kita lakukan. Kita harus sabar sampai kita merasa cukup siap untuk melakukan hal kita impikan. Di lain sisi, Ratna tidak kekurangan suatu materi pun, asal dia bisa menang berdebat dan menyakinkan ayahnya bahwa musik bisa menjadi jalan kesuksesan maka masalah terselesaikan. Ayah Ratna tidak mungkin menghukum anaknya dengan tidak memberi bantuan finansial. Jadi Galih tidak salah dalam hal ini.
Dialog manis. “ Pernah nggak sekali aja, Ibu mikir apa yang Galih inginkan?”
Nah karena ini , saya jadi berkaca-kaca.
Secara keseluruhan film bisa masuk jajaran film terbaik Indonesia tahun 2017 ini. Soal beberapa kekurangannya itu adalah subjektifitas saya sebagai penikmat film. Saya sering berkhayal jika film-film kita mendapatkan dukungan finansial yang besar dan punya master plan yang bagus pasti hasilnya bisa lebih baik lagi. Seandainya dalam film Galih & Ratna ini hampir semua siswa di sekolah Kolase diikut sertakan dalam scene besar –let’s say upacara bendera atau pertandingan lari antar sekolah – maka hasilnya akan lebih real. Unsur-unsur kehidupan anak SMA di sekolah jaman sekarang juga kurang mendapatkan porsi cukup meski sudah sangat cukup jika dibandingkan dengan film genre serupa.
Jadi, nggak usah bandingin Gita Cinta Dari SMA dengan Galih & Ratna sekarang. Mereka adalah 2 cerita berbeda namun memakai nama besar yang sama. Harapannya, Lucky Kuswandi bisa bikin drama series yang Oke punya (ya...mari kita berandai-andai kita punya industri per-drama an kayak Korea) yang saya yakin bisa memberikan dia ruang untuk mengeksplorasi karakter lebih dalam; suatu hal yang saya kritik sebagai kelemahan film ini. (ini mungkin agak ngaco ).
Overall, film ini bagus dan patut untuk ditonton.
P.S : jangan terlalu banyak baca review sebelum menonton. Ini merupakan kesalahan saya. Saking sering membaca review, saya tidak menikmati film ini karena saya datang ke bioskop dalam keadaan tidak netral. Dan setelah dipikir-pikir inilah yang membuat saya terlalu judgemental dengan film Galih & Ratna.


Comments

Popular Posts