Agama NU dan Muhammadiyah
Saya menjadi orang Islam sejak lahir. Ketika saya lahir, ayah saya (bukan tetapi kerabat saya) mendengungkan suara azdan di telinga kanan saya. Itu adalah prosesi pertama dalam hidup panjang saya menyandang label sebagai orang Islam. Seperti semua orang yang dilahirkan dan tumbuh dalam lingkungan suatu agama maka secara otomatis saya belajar doktrin ke Islaman saya. Kenapa saya sebut sebagai doktrin, karena pada masa kecil sampai remaja saya belum benar-benar mengerti tentang agama ini selain ritual mengaji di langgar, membaca dibak setiap malam Senin, membaca surat Yasin untuk orang yang meninggal, sholat lima kali sehari dan ritual keagamaan lainnya.
Selain ritual yang saya sebutkan di atas, Islam juga saya pahami sebagai sebuah larangan yang cukup ketat. Jika saya melanggar banyak sekali aturan yang ada di dalamnya maka neraka adalah akhir dari kehidupan saya nanti. Penjabaran oleh guru mengaji saya dan buku bacaan ilustratif yang saya lihat waktu kecil lumayan berhasil untuk menanamkan imaji kecil saya tentang neraka; penuh api, orang-orang yang disiksa telanjang dengan berbagai macam kondisi seperti disetrika,dipanggang, dipecuti dan lain-lain. Gambar-gambar ini membentuk ketakutan dalam diri saya sehingga sebisa mungkin saya akan menghindari larangan-larangan agama sehingga kelak saya tidak akan masuk neraka tetapi surga yang digambar sangat berbeda dengan neraka karena tempatnya indah penuh dengan kebahagiaan.
Lingkungan tempat saya tumbuh adalah sebuah desa kecil yang mayoritas agama penduduknya adalah Islam. Bisa dikatakan angka statistiknya adalah 100 persen. Angkanya terlihat fantastis jika kita tidak memperlihatkan tingkat keimanan para penganutnya. Jika dirunut lebih teliti, angka status keislaman ini bisa jauh lebih sedikit. Masyarakat di tempat saya terbagi dalam dua kelompok organisasi besar yakni NU dan Muhammadiyah. Pengikut NU jumlah lebih besar dibanding organisasi yang kedua tetapi kelompok kecil Muhammadiyah ini memiliki pengikut dengan latar belakang pendidikan dan status sosial yang lebih tinggi. Tahun 1990-an, hampir sebagian besar dari mereka menjadi PNS dan memiliki kehidupan yang lebih baik dibanding dengan kebanyakan penganut NU yang mayoritas menjadi petani. Tahun 1990-an bukanlah tahun yang gampang untuk mencari uang, sehingga dengan sistem ORBA yang masih mengagungkan jabatan PNS, kesejahteraan PNS di desa saya jauh melebihi profesi petani dan juga tukang kayu.
Saya memahami perbedaan hanya dalam tingkat perbedaan organisasi. Menurut saya – waktu itu orang tua saya adalah warga NU- perbedaan adalah Muhammadiyah dan NU, PNS dan Petani, tukang kayu. Tidak lebih dari itu. Jangan tanya, apakah saya mengenal perbedaan ras sepeti turunan Tionghoa atau pribumi,..hmm..tidak sama sekali. Saya ingat waktu SMP saya memiliki teman sekolah yang berasal dari Batam. Sampai saya tinggal di Jakarta saya baru sadar kalau teman saya ini adalah keturunan Tionghoa karena seingat saya matanya sipit meski kulitnya sebenarnya berwarna agak cokelat? Lalu bagaimana dengan perbedaan agama? Meski saya tinggal di lingkungan yang sangat homogen, saya juga mengenal perbedaan ini. Pertama tentu dari buku-buku pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) yang mengajarkan tentang 5 agama resmi di Indonesia. Melalu acara televisi saya juga dikenalkan dengan perbedaan keyakinan ini, kalau orang kristen beribadah di gereja, Hindu di Pura, Buddha di Wihara dll.
Kembali kepada pembahasan NU dan Muhammadiyah, perbedaan dalam tingkatan organisasi ini cukup menimbulkan gesekan yang lumayan ekstrem dalam masyarakat kami. Salah satu aspek yang paling ketara adalah dalam bidang pendidikan. Asal mulanya seluruh masyarakat desa adalah pengikut NU (entah mereka sadar atau tidak), kemudian seorang PNS dari Yogyakarta ditugaskan untuk mengajar di sekolah desa kami dan diangkat sebagai kepala sekolah. Bapak PNS ini –karena berasal dari daerah Jogja yang notabene Muhammadiyah banyak diikuti oleh warga di sana- membawa ajaran Muhammadiyah dalam masyarakat kami. Beliau menikah dengan seorang gadis di desa kami dan dari situlah Muhammadiyah tumbuh menjadi sebuah kelompok anak keturunan beliau. Posisi yang lumayan tinggi sebagai kepala sekolah membuat si bapak PNS ini menggunakan kekuasaannya untuk menarik simpatisan Muhammadiyah lewat sekolah. Saya masih ingat waktu menjelang idul Fitri selalu ada kewajiban anak-anak sekolah untuk beribadah di masjid Muhammadiyah. Bahkan bapak ini juga menarik perhatian anak-anak untuk mau beribadah di masjidnya menggunakan permen- yang waktu itu menurut saya cukup berhasil.
Lama kelamaan paksaan ini menjadi sebuah tren yang kurang menyenangkan karena anak-anak merasa dipaksa untuk datang ke masjid. Hal ini menimbulkan konflik dengan orang tua mereka yang kebanyakan beragama NU (saya akan menyebut dengan istilah ini untuk mengacu pada begitu seriusnya masalah waktu itu). Sehingga ada protes dari pihak masyarakat karena menurut mereka anak-anak mereka dipaksa untuk menjadi Muhammadiyah. Konflik dan gesekan dalam masyarakat ini berujung pada pembangunan sekolah dasar oleh umat NU yang dipelopori oleh seorang pemuda NU yang cukup disegani. Ketika saya menginjak kelas 2 atau 3 SD sekolah ini dibuka dan dinamakan Madrasah Ibtidaiyah. Apakah saya paham dengan makna dari sekolah ini yang memakai bahasa Arab di papan depan sekolahnya? Tentu saja tidak. Yang saya tahu mereka berbeda dengan saya karena setiap pagi anak-anak gadis MI akan memakai kerudung sebelum berangkat sekolah berbeda dengan saya yang menguncir rambut.
Pada awal periode pembangunan, MI ini bukanlah sekolah formal seperti sekarang, tetapi alternatif yang dijadikan pilihan oleh anak-anak untuk tetap menjadi NU. Setiap sore setelah pulang dari sekolah SD saya akan bergegas untuk mengikuti pelajaran agama di sekolah sore.Saking tidak pahamnya saya dengan pelajaran Fikih, saya ingat mendapat sebuah telur kalkun alias nilai NOL besar. Seiring dengan popularitas sekolah lama-kelamaan sekolah sore ini berkembang menjadi institusi formal yang berdiri sendiri. Karena banyaknya umat NU yang ada di desa, kebanyakan orang tua pun mengirim anak-anak mereka ke madrasah Ibtidaiyah. Dampaknya SD menjadi tidak populer lagi dan dalam waktu 10 tahun jumlah siswanya menjadi setengah dari siswa MI. Jarak antara 2 sekolah ini tidak terlalu jauh sekitar 50 meter (mungkin) saja. Bisa dibilang saya adalah generasi terakhir dari keluarga saya yang bersekolah di SD.
Lalu bagaimana keadaan masyarakat desa saya sekarang? Apakah Nu dan Muhammadiyah masih menjadi agama sendiri-sendiri atau sudah melebur menjadi Islam? Itu pertanyaan yang cukup dalam. Yang jelas masyarakat sudah mulai sedikit terbuka dengan perbedaan dan mengadopsi cara baru untuk bertahan. Ada beberapa bagian dari masyarakat yang menikah dengan perbedaan organisasi ini. Dulu pernikahan beda organisasi ini seperti pernikahan beda agama. Sekarang? masyarakat sudah lebih terbuka dan sedikit atau banyak paham bahwa meski itu Muhammadiyah atau NU sama-sama masih dalam satu naungan Islam.
Melihat fenomena seperti ini, timbul suatu pertanyaan besar dalam pikiran saya? Kenapa sebuah perbedaan sekecil ini (dalam ranah organisasi) bisa menimbulkan konflik masyarakat yang lumayan serius? apakah masyarakat desa saya memang belum benar-benar terdidik untuk menerima perbedaan? Perbedaan begitu menjadi momok yang bisa membawa akhir dari sebuah kebahagiaan. Satu kesimpulan adalah kurangnya pemahaman tentang apa itu Muhammadiyah dan NU dan juga budaya Jawa yang masih melekat. Di sini, NU diuntungkan karena ketoleransian organisasi ini dengan segala yang berbau budaya kuno.
Tahun 2000 an, seiring dengan meningkatnya popularitas kerudung, tren ini pun sekarang diaplikasikan pada cara berpakaian seragam sekolah anak SD. Yang saya lihat, anak-anak SD di tempat saya sekarang memakai kerudung berwarna putih. Ini mungkin adalah salah satu usaha untuk menarik minat pada orang tua agak mengirim anak mereka untuk sekolah di SD dan bisa dibilang juga kompromi warga Muhammadiyah untuk menarik perhatian atau mencoba merekonsiliasi hubungan yang buruk dengan warga NU. Dan akhirnya, harus ada yang mengalah.
Dulu orang sering berpikir bahwa anak yang belajar di sekolah negeri tidak mengerti soal agama dan sebagai akibatnya agak ‘bedugal’ dan kurang ajar terhadap orang tua. Menjadi sebuah kebanggaan jika seorang anak bisa melantunkan adzan di langgar,atau menjadi imam masjid. Hal hal seperti inilah yang menjadi indikasi kesolehan seorang anak.
Ah..kenapa agama hanya dipahami dari kulit luar saja.
Sungguh desaku.
Selanjutnya saya akan membahas tentang Kerudung/Jilbab, tentu dari perspektif saya.
Tulisan ini saya buat berdasarkan pengamatan saya sewaktu kecil.
Comments
Post a Comment